Friday, 3 July 2009

ANTI DIABETES

I. Pendahuluan
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita DM ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi (Anonim, 2008).
Saat ini upaya penanggulangan penyakit Diabetes Mellitus belum menempati skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis, hipertensi, otak, sistem saraf, hati, mata dan ginjal (Anonim, 2008).
Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit degeratif, dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria) (Anonim, 2008).
Diabetes Mellitus atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas (Anonim, 2008).
Gejala klinis yang khas pada DM yaitu “Triaspoli” yaitu:
- polidipsi (banyak minum)
- poli phagia (banyak makan)
- poliuri (banyak kencing),
- disamping disertai dengan keluhan sering kesemutan terutama pada jari-jari tangan
- badan terasa lemas, gatal-gatal dan bila ada luka sukar sembuh.
- Kadang-kadang BB menurun secara drastis (Anonim, 2008).
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui kadar gula darah puasa pada hewan percobaan
- Untuk mengetahui kadar gula darah pada hewan percobaan setelah pemberian larutan glukosa
- Untuk mengetahui efek Glibenklamid pada kadar gula darah hewan percobaan

III. Prinsip Percobaan
Pemberian larutan glukosa akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah pada hewan percobaan. Kenaikan kadar gula darah dapat diturunkan dengan pemberian obat antidiabetes yaitu Glibenklamid. Kadar gula darah diukur dengan alat glukotest strip pada waktu tertentu.

IV. Tinjauan Pustaka
Insulin merupakan protein kecil yang mengandung dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfide. Disintesis sebagai precursor (pro-insulin) yang mengalami pemisahan proteolitik untuk membentuk insulin dan peptide-C, keduanya disekresikan oleh sel-β pancreas (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 2001).
Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga oleh hormone lain dan mediator autonomic. Sekresi insulin umumnya dipacu oleh ambilan glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi dalam sel β pancreas. Kadar adenosine trifosfat (ATP) meningkat dan menghambat saluran K+, menyebabkan membrane sel depolarisasi dan influks Ca2+, yang menyebabkan pulsasi eksositosis insulin (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 2001).
Insulin di rilis dari sel β pankreas, pada keadaan basal dengan kecepatan rendah dan pada keadaan stimulasi sebagai respons terhadap berbagai stimulus, khususnya glukosa, dengan suatu kecepatan yang lebih tinggi. Stimulan lain seperti gula lain (misalnya mannose), asam amino tertentu (misal leucine, arginine), dan juga dikenal aktivitas vagal (Katzung, B. G., 2002).
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP intraseluler, sehingga menutup kanal kalium yang tertantung pada ATP. Penurunan arus keluar dari kalium melalui kanal tersebut menyebabkan depolarisasi sel B dan terbukanya kanal kalsium yang tergantung dari voltase (voltage-gated). Hasil peningkatan kalsium intraselular memicu sekresi hormon tersebut. Mekanisme tersebut jelas lebih kompleks daripada ringkasan pendek yang diungkapkan di depan, karena beberapa pembawa pesan (messenger) intyraselular terbukti memodulasi proses tersebut (cAMP, inositol triphosphate, diacygliserol) dan respon insulin terhadap peningkatan monofasik glukosa bersifat bifasik (Katzung, B. G., 2002).
Sekali insulin memasuki sirkulasi, maka insulin diikat oleh reseptor khusus yang terdapat pada membran sebagian besar jaringan. Walaupun demikian, respon biologis yang dipicu oleh terjadinya kompleks reseptor insulin tersebut, hanya dapat diidentifikasikan pada beberapa jaringan target saja, misalnya hati, otot, dan jaringan lemak. Reseptor mengikat insulin dengan spesifitas dan afinitas yang tinggi dalam rentang pikomolar. Reseptor insulin yang penuh terdiri dari dua heterodimer, masing-masing mengandung suatu subunit alfa, yang seluruhnya ekstraseluler dan merupakan situs pengenalan, serta subunit beta yang membentang membran. Subunit beta mengandung suatu kinase tyrosine (Katzung, B. G., 2002).
Apabila insulin mengikat subunit alfa yang berada diluar permukaan sel, terjadi aktivasi kinase tyrosine pada bagian beta. Walaupun bentuk dimerik ab mampu mengikat insulin, ikatan tersebut terjadi dalam afinitas yang lebih rendah daripada ikatan yang terbentuk pada bentuk tetramerik aabb. Terjadi fosforilisasi diri sendiri dari reseptor bagian beta yang menyebabkan peningkatan agregasi heterodimer ab dan stabilisasi keadaan aktivasi reseptor kinase tyrosine. Telah diidentifikasi sembilan substrat untuk mengaktifkan reseptor insulin. Protein-protein pertama yang difosforilasi oleh reseptor kinase tyrosine termasuk protein pengait (docking), substrat reseptor insulin-1 (IRS-1), yang mempunyai lebih dari 22 situs untuk fosforilisasi tyrosine, dan substrat reseptor insulin-2 (IRS-2) (Katzung, B. G., 2002).
Setelah fosforilasi tyrosine pada beberapa situs kritis, IRS-1 dan IRS-2 terikat dan mengaktifkan kinase alin dan mengaktifkan fosforilasi selanjutnya. Jaringan kerja fosforilasi dalam sel tersebut mewakili pesan insulin yang kedua dan menyebabkan translokasi beberapa protein seperti transporter glukosa dari situs-situs yang etrpisah dalam sel-sel adiposit dan otot untuk memaparkan lokasi pada pertukaran sel. Akhirnya, kompleks reseptor insulin diinternalisasi (Katzung, B.G. ,2002).
Diabetes mellitus, penyakit kencing manis adalah suatu gangguan kronis yang dibicarakan hiperglikemia dan khususnya menyangkut metabolisne glukosa dalam tubuh. Harapan hidup penderita diabetes rata-rata 5-10 tahun lebih rendah dan resikonya akan PJP adalah 2-4 kali lebih besar. Penyebabnya adalah kekurangan hormone insulin yang berfungsi memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel untuk dimetabolisir dan demikian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Akibatnya asalah glukosa bertumpuk di dalam darah dan akhirnya diekskresi lewat kemih tanpa digunakan. Karena itu produksi kemih sangat meningkat dan penderita sering berkemih, merasa amat haus, berat badan menurun dan merasa leleh. Penyebab lainnya adalah menurunya kepekaan reseptor bagian insulin yang diakibatkan terlalu banyak makan dan kegemukan (Tan, H.T. dan Kirana Rahardja, 2007)
Rata-rata 1,5-2% dari seluruh penduduk dunia menderita diabetes yang bersifat menurun. Di Indonesia diperkirakan tiga juta orang. Pankreas adalah suatu organ lonjong yang terletak di belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Organ ini terdiri dari 98% sel-sel sekresi yang memproduksi enzim-enzim cerna yang disalurkan ke duodenum, sisanya terdiri dari kelompok sel dengan sekresi intern. Dalam pancreas terdapat 4 jenis sel endrokin, yakni:
a. Sel alpha memproduksi glikagon.
b. Sel beta menghasilkan insulin
c. Sel D memproduksi somatostatin (antagonis somatoprin)
d. Sel PP memproduksi PP (Pancreatic Polipeptida) yang mungkin berperan dalam penghambatan sekresi endokrin dalam empedu (Tan, H.T. dan Kirana Rahardja, 2007)
Apa penyebab Diabetes Mellitus ?
DM atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas. Ada 2 macam type DM :
1. DM type I. atau disebut DM yang tergantung pada insulin. DM ini disebabkan akibat kekurangan insulin dalam darah yang terjadi karena kerusakan dari sel beta pancreas. Gejala yang menonjol adalah terjadinya sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM type ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. DM type II atau disebut DM yang tak tergantung pada insulin. DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada/kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, 75% dari penderita DM type II dengan obersitas atau ada sangat kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.Kegemukan atau obesitas salah satu faktor penyebab penyakit DM, dalam pengobatan penderita DM, selain obat-obatan anti diabetes, perlu ditunjang dengan terapi diit untuk menurunkan kadar gula darah serta mencegah komplikasi-komplikasi yang lain (Anonim, 2008).
Diabetes melitus disebabkan oleh penurunan kecepatan insulin oleh sel-sel beta Pulau langerhans. Biasanya dibagi dalam dua jenis berbeda : diabetes juvenilis, yang biasanya tetappi tak selalu, dimulai mendadak pada awal kehidupan dan diabetes dengan awitan maturitas, yang dimulai di usia lanjut dan terutama pada orang kegemukan (Guyton, A.C., 1990).
Herediter berperanan penting dalam perkembangan kedua jenis diabetes ini. Pada beberapa kasus, jenis juvenilis disebabkan oleh predisposisi herediter terhadap perkembangan antibodi terhadapa sel-sel beta atau dedgenerasi sederhana pada sel-sel ini. Diabetes jenis awitan maturitas jelas disebabkan oleh degenerasi sel-sel beta sebagai akibat penuaan yang lebih cepat pada orang yang lebih rentan daripada yang lain. Obesitas mempredisposisi seseorang tetrhadapa jenis diabetes ini karena diperlukan insulin dalam jumlah lebih besar untuk pengaturan metabolisme pada orang kegemukan dibandingkan dengan orang normal (Guyton, A.C., 1990).
Patofsiologi Diabetes
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insuliun sebagai berikut:
(1) pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh , dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg. Per 100ml.
(2) peningkatan nyata mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskular yang mengakibatka aterosklerosis
(3) pengurangan protein dalam dalam jaringan tubuh (Guyton, A.C., 1990).

Uji antidiabetes dengan metode toleransi glukosa
Hewan percobaan yang telah dikelompokkan secara acak diambil cuplikan darahnya (T = 0) untuk penentuan kadar glukosa awal, kelompok uji diberi sediaan uji secara oral, kelompok kontrol diberi air suling dan kelompok pembanding diberi glibenklamid. Setelah 30 menit kemudian, semua hewan percobaan diberi larutan glukosa secara oral. Setiap 30 menit cuplikan darah diambil dari masing-masing hewan percobaan. Setelah darah dalam tabung sampel mikro disentrifuga, kadar glukosa dalam serumnya ditentukan secara uji kolorimetri dengan metode enzimatik GOD-PAP (Adnyana, K., E. Yulinah, 2004).
Uji antidiabetes pada mencit diabetes imbasan aloksan
Hewan setelah disuntik dengan aloksan secara intravena dipelihara selama satu minggu untuk melihat kembali ke keadaan glukosa serum normal. Hewan percobaan yang telah dikelompokkan secara acak cuplikan darahnya diambil (T = 0). Hewan kelompok uji diberi sediaan uji, kelompok pembanding diberi glibenklamid, sedangkan kelompok kontrol diberi air suling selama tujuh hari berturut-turut. Semua hewan diberi makan dan minum ad-libitum. Pada hari ke-1, dilakukan pengambilan serum untuk penentuan kadar glukosa serum pada pemberian tunggal. Cuplikan darah yang diambil pada hari ke-4 sebelum diberi sediaan uji digunakan untuk penentuan kadar glukosa serum pada pemberian berulang (3 hari). Pada hari ke-8, serum diambil untuk penentuan kadar glukosa serum setelah pemberian sediaan uji 7 hari berturut-turut. Kadar glukosa serum ditentukan secara uji kolorimetri dengan metode enzimatik GOD-PAP (pada panjang gelombang 546 nm) (Adnyana, K., E. Yulinah, 2004).
Pada saat ini terdapat 5 macam kelas obat hipoglikemik oral untuk pengobatan DM tipe II, yaitu sulfonilurea, biguanid, meglitinid, α-glukosidase inhibitor, dan agonis receptor γ (thiazolidin atau glitazon). Obat hipoglikemik oral diindikasikan untuk pengobatan pasien DM tipe II yang tidak mampu diobati dengan melakukan diet dan aktivitas fisik. Biguanid dan thiazolidinedion dikategorikan sebagai sensitizer insulin, dengan cara menurunkan resistensi insulin. Sulfonilurea dan meglitinid dikategorikan sebagai insulin secretagogues karena kemampuannya merangsang pelepasan insulin endogen (Yosef, 2007).
Contoh :
1. Sulfonilurea : sulfonilurea generasi pertama (acetohexamid, clorproramid, tolbutamid, talazamid) dan generasi kedua (glimepirid, gilipizie, dan glibenklamid)
2. Meglitinid : nateglinid, repaglinid
3. Biguanid : metformin
4. Thiazolidinedion : pioglitazon dan resiglitazon
5. Alfa glukosidase inhibitor : acarbose dan miglitol (Yosef, 2007).
Farmakologi Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum
Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum memobilisasi insulin dalam tubuh. Senyawa ini meningkatkan sekresi insulin sel β pulau-pulau langerhans. Sekaligus insulin yang terikat pada protein plasma yang biologic tidak aktif, dapat dibebaskan dan dengan demikian diaktifkan kembali. Karena itu semua kerja sulfonilureum pada prinsipnya adalah efek insulin, maka golongan zat ini hanya diindikasikan pada diabetes dewasa, dimana produksi insulin tubuh, setidak-tidaknya masih sebagiannya dipertahankan (Schunak. W., 1990).
Kerja samping terpenting adalah hipoglikemia, yang khusus dapat muncul setelah pemberian sulfonilureum yang bekerja kuat sehingga dapat terjadi interaksi obat melalui pendesakan sulfonilureum dari pengikatan protein plasma maupun kompetisi untuk mekanisme sekresi tubulus (Schunak. W., 1990).
Antidiabetika Oral Kombinasi Metformin dan Glibenklamid
Kombinasi ini sangat cocok digunakan untuk penderita diabetes melitus tipe 2 pada pasien yang hiperglikemianya tidak bisa dikontrol dengan single terapi (metformin atau glibenklamid saja), diet, dan olahraga. Di samping itu, kombinasi ini saling memperkuat kerja masing-masing obat, sehingga regulasi gula darah dapat terkontrol dengan lebih baik (Yosef, 2007).
Kombinasi ini memiliki efek samping yang lebih sedikit, apabila dibandingkan dengan efek samping apabila menggunakan monoterapi (metformin atau glibenklamid saja). Metformin dapat menekan potensi glibenklamid dalam menaikkan berat badan pada pasien diabetes melitus tipe 2, sehingga cocok untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengalami kelebihan berat badan (80% dari semua pasien diabetes melitus tipe 2 adalah terlalu gemuk dengan kadar gula tinggi sampai 17-22 mmol/l) (Yosef, 2007).
DM dapat dicegah dengan menerapkan hidup sehat sedini mungkin yaitu dengan mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan meningkatkan konsumsi sayuran, buah dan serat, membatasi makanan yang tinggi karbohidrat, protein dan lemak, mempertahankan BB yang normal sesuai dengan umur dan tinggi badan (TB) serta olah raga (OR) teratur sesuai umur & kemampuan (Anonim, 2008).
Tujuan pengobatan penderita DM ialah: Untuk mengurangi gejala, menurunkan BB bagi yang kegemukan & mencegah terjadinya komplikasi.
1. Diit
Penderita DM sangat dianjurkan untuk menjalankan diit sesuai yang dianjurkan, yang mendapat pengobatan anti diuretik atau insulin, harus mentaati diit terus menerus baik dalam jumlah kalori, komposisi dan waktu makan harus diatur. Ketaatan ini sangat diperlukan juga pada saat : undangan/pesta, melakukan perjalanan, olah raga (OR) dan aktivitas lain (Anonim, 2008).
2. Obat-obatan
Tablet/suntikan anti diabetes diberikan, namun therapy diit tidak boleh dilupakan dan pengobatan penyulit lain yang menyertai /suntikan insulin (Anonim, 2008).
3. Olah Raga
Dengan olahraga teratur sensitivitas sel terhadap insulin menjadi lebih baik, sehingga insulin yang ada walaupun relatif kurang, dapat dipakai dengan lebih efektif. Lakukan olahraga 1-2 jam sesudah makan terutama pagi hari selama ½ - 1 jam perhari minimal 3 kali/minggu. Penderita DM sebaiknya konsultasi gizi kepada dokter atau nutritionis (ahli gizi) setiap 6 bulan sekali untuk mengatur pola diit dan makan guna mengakomodasikan pertumbuhan dan perubahan BB sesuai pola hidup (Anonim, 2008).
PENGOBATAN DIABETES
Teori pengobatan pada diabetes melitus didasarkan atas pemberian insulin dalam jumlah cukup sehingga memungkinkan metabolisme karbohidrat penderita normal. Terapi optimmum dapat mencegah bagian terbesar efek akut diabetes dan sangat memperlambat timbulnya efek-efek kroniknya (Guyton, A. C., 1990).
Biasanya, penderita diabetes diberi dosis tunggal salah satu preparat insulin bermasa kerja lama setiap hari, ia meningkatkan seluruh metabolisme karbohidratnya sepanjang hari, kemudian insulin regular (suatu preparat bermasa kerja singkat yang berlangsung hanya beberapa jam) tambahan diberikan pada setiap saat kadar glukosa darah cenderung meningkat terlalu tinggi, seperti waktu makan. Jadi, setiap penderita diberi pengobatan rutin secara individual (Guyton, A. C., 1990).
Diet penderita diabetes. Kebutuhan insulin penderita diabetes ditentukan oleh diet standar penderita yang mengandung karbohidrat dalam jumlah normal dan terkontrol baik serta perubahan jumlah masukkan karbohidrat mengubah kebutuhan akan insulin (Guyton, A. C., 1990).
Pada orang normal, Pankreas mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan jumlah insulin yang dihasilkan terhadap masukan karbohidrat; tetapi pada orang diabetes total, fungsi pengaturan ini hilang sama sekali. Pada diabetes jenis awitan maturitas yang dengan obesitas, sering penyakit ini dapat dikontrol dengan mengurangi berat badan saja (Guyton, A. C., 1990).
Hubungan pengobatan dengan arteriosklerosis. Penderita diabetes mempunyai kecenderungan besar mengalami aterosklerosis, arteriosklerosis, serta penyakit jantung koroner berat dan beberapa lesi mikrosirkulasi. Memang, orang yang menderita diabetes yang pengendaliannya relatif buruk waktu anak-anak mungkin mati karena penyakit jantung pada usia 20-an tahun (Guyton, A. C., 1990).
Pada hari-hari permulaan pengobatan diabetes, ada kecenderungan banyak mengurangi karbohidrat dalam diet sehingga kebutuhan insulin minimum. Tindakan ini mempertahannkan kadar gula darah turun ke nilai normal dan mencegah kehilangan glukosa kedalam urina, tetapi hal ini tidak mencegah kelainan-kelainan metabolisme lemak (Guyton, A. C., 1990).
Akibatnya, saat ini cenderung membiarkan penderita dengan diet karbohidrat normal dan kemudian secara serentak memebrikan insulin dosis tingggi untuk memetabolisme karbohidrat. Hal ini menurunkan kecepatan metabolisme lemak dan juga membantu menurunkan kadar kolesterol yang tinggi yang terjadi pada diabetes sebagai akibat kelainan metabolisme lemak (Guyton, A. C., 1990).
Karena komplikasi diabetes-seperti arteroskelerosis, peningkatan kepekaan berlebihan terhadap infeksi, retinopati diabetika, katarak, hipertensi, dan penyakit ginjal kronik-lebih berkaitan dengan kadar lipid darah dibandingkan dengan kadar glukosa darah, maka ia merupakan objek pengobatan klinik diabetes untuk memberikan glukosa dan insulin dalam jumlah cukup sehingga jumlah lipid darah menjadi normal. (Guyton, A. C., 1990).

6.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan, dapat dilihat bahwa pada pemberian glukosa maka kadar gula darah (KGD) mencit mengalami peningkatan dari KGD puasa. Hal ini dikarenakan bertambahnya glukosa (gula) dalam darah karena pemberian larutan glukosa. Lalu pada menit ke 60 yaitu setelah pemberian glibenklamid (antidiabetes) maka kadar gula darah (KGD) setiap mencit mengalami penurunan karena kerja glibenklamid yang menurunkan kadar gula darah.
Penurunan KGD yang ditunjukkan oleh Mencit III (Pemberian glibenklamid [ ] 0,02% dosis 4mg/kgBB oral) cukup drastis dan membuktikan bahwa dosis yang lebih besar memberikan efek yang lebih cepat.
Namun pada menit ke-90, mencit 2 dan mencit 3 menunjukkan penurunan yang tidak rasional yaitu KGD dibawah KGD puasa disebabkan oleh jumlah darah yang diukur pada alat glukotest tidak mencukupi (kurang) sehingga terjadi kesalahan dalam pengukuran. Jumlah darah mencit pun sudah mengalami pembekuan sehingga menyulitkan dalam proses pengukuran KGD.
Glibenklamid bekerja menurunkan KGD dengan cara: Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum memobilisasi insulin dalam tubuh. Senyawa ini meningkatkan sekresi insulin sel β pulau-pulau langerhans. Sekaligus insulin yang terikat pada protein plasma yang biologic tidak aktif, dapat dibebaskan dan dengan demikian diaktifkan kembali. Karena itu semua kerja sulfonilureum pada prinsipnya adalah efek insulin, maka golongan zat ini hanya diindikasikan pada diabetes dewasa, dimana produksi insulin tubuh, setidak-tidaknya masih sebagiannya dipertahankan (Schunak. W., 1990).

VII. Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
- Kadar Gula Darah (KGD) puasa hewan percobaan (mencit) adalah antara 122-129mg/dl.
- Setelah pemberian larutan glukosa maka KGD hewan percobaan jauh meningkat yaitu sekitar 253-319mg/dl.
- Pemberian Glibenklamid pada hewan percobaan dapat menurunkan kadar gula darah (KGD)

7.2. Saran
- Sebaiknya dilakukan juga pengujian diabetes dengan metode lain seperti aloksan.
- Sebaiknya dibandingkan efek penurunan kadar gula darah oleh obat dari golongan lain seperti antara golongan biguanida dengan sulfonilurea.
- Sebaiknya dilakukan pemberian kombinasi antidiabetes sepertia antara metformin dengan glibenclamid untuk mengetahui efek penurunannya terhadap kadar gula darah.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, K., E. Yulinah. (2004). Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.). www.acta.fa.itb.ac.id.
Anonim. (2008). Peran DIIT Dalam Penanggulangan Diabetes. www.gizi.net.
Guyton, A. C. (1990). Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit. Edisi Ketiga. Jakarta: EGC. Hal. 707-708.
Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dan Klinik. Edisi Kedua. Surabaya: Universitas Airlangga Press. Hal. 125-126.
Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Widya Medika. Hal. 261-262.
Schunak. W. (1990). Senyawa Obat. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 558.
Tan, H.T. dan K. Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 742.
Yosef. (2007). Terapi Kombinas Antidiabetika Oral Metformin Dan Glibenklamid Untuk Diabetes Melitus Tipe-2. www.yosefw.wordpress.com.

Thursday, 25 June 2009

ANTIPIRETIK

I. Pendahuluan
Demam adalah suatu bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi. Kebanyakan bakteri dan virus yang menyebabkan infeksi pada manusia hidup subur pada suhu 37 derajat C. Meningkatnya suhu tubuh beberapa derajat dapat membantu tubuh melawan infeksi. Demam akan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh untuk membuat lebih banyak sel darah putih, membuat lebih banyak antibodi dan membuat lebih banyak zat-zat lain untuk melawan infeksi (Wibowo, S., 2006).
Suhu tubuh normal bervariasi tergantung masing-masing orang, usia dan aktivitas. Rata-rata suhu tubuh normal adalah 37 derajat C.
Suhu tubuh kita biasanya paling tinggi pada sore hari. Suhu tubuh dapat meningkat disebabkan oleh aktivitas fisik, emosi yang kuat, makan, berpakaian tebal, obat-obatan, suhu kamar yang panas, dan kelembaban yang tinggi. Ini terutama pada anak-anak. Suhu tubuh orang dewasa kurang bervariasi. Tetapi pada seorang wanita siklus menstruasi dapat meningkatkan suhu tubuh satu derajat atau lebih (Wibowo, S., 2006).
Yang mengatur suhu tubuh kita adalah hipotalamus yang terletak di otak. Hipotalamus ini berperan sebagai thermostat. Thermostat adalah alat untuk menyetel suhu seperti yang terdapat pada AC. Hipotalamus kita mengetahui berapa suhu tubuh kita yang seharusnya dan akan mengirim pesan ke tubuh kita untuk menjaga suhu tersebut tetap stabil (Wibowo, S., 2006).
Pada saat kuman masuk ke tubuh dan membuat kita sakit, mereka seringkali menyebabkan beberapa zat kimiawi tertentu beredar dalam darah kita dan mencapai hipotalamus. Pada saat hipotalamus tahu bahwa ada kuman, maka secara otomatis akan mengeset thermostat tubuh kita lebih tinggi. Misalnya suhu tubuh kita harusnya 37 derajat C, thermostat akan berkata bahwa karena ada kuman maka suhu tubuh kita harusnya 38,9 derajat C. Ternyata dengan suhu tubuh yang lebih tinggi adalah cara tubuh kita berperang dalam melawan kuman dan membuat tubuh kita menjadi tempat yang tidak nyaman bagi kuman (Wibowo, S., 2006).
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui mekanisme kerja dari 2,4-dinitrofenol
- Untuk mengetahui mekanisme kerja dari parasetamol
- Untuk membandingkan khasiat dari parasetamol dan obat x sebagai antipiretik

III. Prinsip Percobaan
Pemberian 2,4-dinitrofenol sebagai pirogen eksogen akan merangsang pengeluaran prostaglandin d hipotalamus sehingga suhu thermostat meningkat dan tubuh menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu thermostat, dan pemberian parasetamol dapat menurunkan suhu tubuh sampai batas normal yaitu berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur panas di hipotalamus yang bekerja dengan dua proses, efek sentral yaitu dengan menghambat siklus COX-2 sehingga tidak terjadi pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat, dimana prostaglandin tidak akan merangsang lagi thermostat untuk menaikkan suhu tubuh. Dan efek perifer dimana saraf simpatis di kulit bekerja mengaktifkan reseptor-reseptor panas di kulit sehingga terjadi vasodilatasi perifer. Dengan terjadinya vasodilatasi ini, panas lebih cepat terkonduksi ke jaringan kulit dan melalui alran udara terjadi konveksi sehingga panas dikeluarkan dan disertai keluarnya keringat. Maka lama-kelamaan suhu tubuh akan turun

IV. Tinjauan Pustaka
Demam yang berarti suhu tubuh di atas batas normal biasa dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penakir bakteri, tumor otak, atau dehidrasi (Arthur C. Guyton, 2001).
Pada umumnya demam adalah juga suatu gejala dan bukan merupakan penyakit tersendiri.Kini, para ahli bersependapat bahwa demam adalah suatu reaksi tangkis yang berguna dari tubuh terhadap infeksi.Pada suhu diatas 37oC limfosit dan makrofag menjadi lebih aktif.Bila suhu melampaui 40-41oC, barulah terjadi situasi kritis yang bisa menjadi fatal, karena tidak terkendalikan lagi oleh tubuh (Tjay, T.H., dan Kirana Rahardja, 2002).
Banyak protein, hasil pemecahan protein, dan zat-zat tertentu, seperti toksin lipopolisakaridayang disekresi oleh bakteri dapat menyebabkan titik setel thermostat hipotalamus meningkat. Zat-zat yang menyebabkan efek ini dinamakan pirogen. Terdapat pirogen yang disekresikan oleh bakteri toksik atau pirogen yang dikeluarkan dari degenerasi jaringan tubuh yang menyebabkan demam selama sakit. Bila titik setek thermostat hipotalamus meningkat lebih tinggi dari normal, semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh bekerja, termasuk konservasi panas dan peningkatan pembentukan panas. Dalam beberapa jamsetelah thermostat diubah ke tingkat yang lebih tinggi, suhu tubuh juga mencapai tingkat tersebut (Arthur C. Guyton, 2001).
Untuk memberikan suatu gambaran efek pirogen yang sangat kuat dalam mengubah thermostat hipotalamus, beberapa nanogram pirogen endogen murni yang disuntikkan ke binatang dapat menyebabkan demam berat (Arthur C. Guyton, 2001).
Bila pengaturan thermostat dengan mendadak diubah dari tingkat normal ke nilai yang lebih tinggi dari normal sebagai akibat kerusakan jaringan, zat pirogen, atau dehidrasi, suhu tubuh biasanya memerlukan beberapa jam untuk mencapai suhu yang baru. Misalnya, setelan thermostat hipotalamus dapat segera meningkat sampai 103o F. karena suhu darah lebih rendah daripada setelan suhu thermostat hipotalamus, terjadi respon otonom yang biasanya menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Selama periode ini orang akan menggigil, selama mana ia merasakan sangat dingin, walaupun suhu tubuhnya sudah melebihi suhu normal. Kulitnya juga dingin sebab vasokonstriksi, dan ia gemetar karena menggigil. Menggigil terus berlangsung sampai suhu tubuhnya ke tingkat ‘setting’ hipotalamus yaitu 103o F. kemudian, bila suhu tubuh mencapai nilai ini, ia tidak lagi menggigil tetapi sebagai gantinya ia tidak merasa dingin atau panas. Selama factor yang menyebabkan thermostat hipotalamus di ste pada nilai yang tinggi, efeknya terus berlangsung, suhu tubuh kurang lebih diatur dengan cara normal tetapi pada tingkat suhu yang lebih tinggi (Arthur C. Guyton, 2001).
Bila factor yang menyebabkan suhu tinggi dengan mendadak disingkirkan, thermostat hipotalamus dengan mendadak berada pada nilai yang rendah – mungkin malahan kembali ke tingkat normal. Pada keadaan ini, suhu darah tetap 103o F, tetapi hipotalamus mencoba mangatur suhu tubuh pada 98,6o F, keadaan ini analog dengan pemanasan berlebihan area preoptika, yang mneyebabkan berkeringat yang berlebihan dan pembentukan kulit yang panas dengan mendadak karena terjadi vasodilatasi di seluruh tubuh. Perubahan peristiwa yang mendadak ini pada penyakit demam disebut “krisis” atau, yang lebih tepat “flush” (Arthur C. Guyton, 2001).
Prostaglandin adalah senyawa mediator yang penting pada kejadian nyeri dan radang. Secara kimia ia adalah turunan asam prostanoat yang dibentuk invivo dari asam arakhidoklat, suatu asam lemak C-20 dengan empat ikatan rangkap oksidasi dan siklisasi asam arakidonat yang dikatalisis oleh protagladin sintetase, menghasilkan suatu endoperoksida siklik yang sebagai zat kunci diisomerisasi menjadi prostagladin E2 (PGE2) atau menjadi prostagladin lain. Zat seperti asam asetil salisilat atau indometasin mewujudkan kerja analgetik dan antiflogistiknya pada dasarnya melalui hambatan prostagladin sintetase yang terdapat pada jaringan perifer (Schunack, W., 1990).
Daya kerja antipiretik bertentangan dengan efek analgetik dan antipiretik, dikembalikan pada penghambatan mekanisme sentral. Bila pusat panas yang terletak dihipotalamus dianggap sebagai termostat, maka zat-zat yang menimbulkan demam (pirogen) bekerja meninggikan nilai ambang melalui stimulasi sintesis prostagladin. Penurunannya dan dengan demikian penurunan suhu tubuh dapat diharapkan dari zat zat inhibiton prostagladin-sintetase yang dapat mempermeasi dengan baik ke dalam SSP (Schunack, W., 1990).
Asetaminofen adalah salah satu obat yang terpenting untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang, bila efek anti-inflamasi tidak diperlukan. Asetaminofen merupakan metabolik fenasetin yang bertanggung jawab atas efek analgesiknya. Obat ini adalah penghambat prostaglandin yang lemah pada jarinagn perifer dan tidak memiliki efek anti-inflamasi yang bermakna (Katzung, B.G., 1998).
Asetaminofen diberikan peroral. Absorpsi tergantung pada kecepatan pengosongan lambung, dan kadar puncak dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida, secara farmakologi tidak aktif. Kurang dari 5 % diekskrasikan dalam bentuk tidak berubah. Suatu metabolik minor tetapi sangat aktif (N-asetil-p-benzo-kuinon), penting pada dosis besar, karena toksisitasnya terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh asetaminofen 2-3 jam dan relatif tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Pada jumlah toksis atau adanya penyakit hati, waktu paruhnya bisa meningkat 2 kali lipat atau lebih (Katzung, B.G., 1998).
Walaupun efek analgesik dan antipiretiknya setara dengan aspirin, asetaminofen berbeda karena tidak adanya efek anti-inflamasi. Obat ini tidak mempengaruhi kadar asam urat dan tidak mempunyai sifat menghambat trombosit. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain, dimana aspirin efektif sebagai analgesik. Asetaminofen sendiri tidak ade kuat untuk terapi keadaan peradangan seperti atritis rematoid, walaupun dapat digunakan sebagai analgesik tambahan pada terapi anti-inflamasi (Katzung, B.G., 1998).
Untuk analgesia ringan, asetaminofen merupakan oabt yang lebih disukai pada penderita yang alergi dengan aspirin atau jika salisilat tidak dapat ditoleransi. Obat ini lebih disukai daripada aspirin. Pada penderita hemofilia atau dengan riwayat tukak lambung dan pada penderita yang mendapat bronkospasme yang dicetuskan oleh aspirin. Tidak seperti aspirin, asetaminofen tidak mengantagonis efek obat urikosurik; dapat diberikan bersama dengan probenesid pada pengobatan gout (Katzung, B.G., 1998).
Efek antipiretik dari Aspirin
Demam terjadi jika “set point” pada pusat pengatur panas di hipotalamus anterior meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh sintesis PGE2, yang dirangsang bila suatu zat penghasil demam endogen (pirogen) seperti sitokin dilepaskan dari sel darah putih yang diaktivasi oleh infeksi, hipersenitivitas, keganasan atau inflamasi. Salisilat menurunkan suhu tubuh penderita demam dengan jalan menghalangin sintesa dan penglepasan PGE2. Aspirin mengembalikan “thermostat” kembali ke normal dan cepat menurunkan suhu tubuh penderita demam dengan meningkatkan pengeluaran panas sebgai akibat vasodilatasi perifer dan berkeringat. Aspirin tidak mempunyai efek pada suhu tubuh normal (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 2001).
Penggunaan klinik:
Pada antipiretik dan analgesic: Natrium salisilat, kolin salisilat (dalam formula liquid), kolin magnesium salisilat dan aspirin digunakan sebagai antipiretik dan analgesic pada pengobatan gout, demam rematik, dan atritis rematoid. Umumnya mengobati kondisi-kondisi ini memerlukan analgesia termasuk nyeri kepala, artralgia, dan mialgia (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 2001).
Setelah hipotalamus mengeset suhu baru untuk tubuh kita, maka tubuh kita akan bereaksi dan mulai melakukan pemanasan. Jadi setelah hipotalamus mengeset pada suhu 38,9 derajat C misalnya, maka suhu tubuh kita yang tadinya 37 derajat C, oleh tubuh kita akan dinaikkan menjadi 38,9 derajat C. Pada saat tubuh menuju ke suhu baru kita akan merasa menggigil. Kita dapat pula merasa sangat dingin meskipun ruangan tidak dingin dan bahkan meskipun kita sudah memakai baju tebal dan selimut. Jika tubuh sudah mencapai suhu barunya, katakanlah 38,9 derajat C maka kita tidak akan merasa dingin lagi (Wibowo, S., 2006).
Banyak orangtua takut bahwa demam akan menyebabkan kerusakan otak. Kerusakan otak dari demam umumnya tidak akan terjadi kecuali demam melebihi 42 derajat C. Kebanyakan orangtua juga takut bahwa demam yang tidak diobati akan semakin tinggi dan semakin tinggi. Demam yang tidak diobati yang disebabkan oleh infeksi jarang yang melebihi 40,6 derajat C kecuali anak tersebut diberikan pakaian yang berlebihan atau terjebak dalam suatu tempat yang panas. Thermostat di otak akan menghentikan demam agar tidak melebihi 41,1 derajat C (Wibowo, S., 2006).
Setelah penyebab yang menimbulkan demam lenyap, maka hipotalamus akan mengeset semuanya kembali seperti sediakala. Pada saat obat untuk radang tenggorokan kita sudah mulai bekerja misalnya, maka suhu tubuh kita akan mulai turun dan kembali ke normal. Kita akan merasa hangat dan perlu melepaskan panas yang berlebihan yang masih ada di tubuh. Kita akan berkeringat dan ingin memakai pakairan yang lebih tipis (Wibowo, S., 2006).
Demam bukan suatu penyakit. Jauh dari sebagai musuh, demam adalah suatu bagian penting dari pertahanan tubuh kita melawan infeksi. Banyak bayi dan anak-anak menjadi demam tinggi oleh penyakit-penyakit virus ringan. Jadi demam memberitahukan kepada kita bahwa suatu peperangan mungkin sedang terjadi di dalam tubuh kita, demam berperang untuk kita, bukan untuk melawan kita (Wibowo, S., 2006).
Banyak bakteri dan virus yang menyebabkan infeksi pada manusia hidup subur pada suhu 37 derajat C. Meningkatkan suhu tubuh beberapa derajat dapat membantu tubuh memenangkan pertempuran melawan bakteri dan virus tadi. Selain itu demam akan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh untuk membuat lebih banyak sel darah putih, antibodi dan zat-zat lain untuk melawan infeksi (Wibowo, S., 2006).
Banyak orangtua takut bahwa demam akan menyebabkan kerusakan otak. Kerusakan otak dari demam umumnya tidak akan terjadi kecuali demam melebihi 42 derajat C. Kebanyakan orangtua juga takut bahwa demam yang tidak diobati akan semakin tinggi dan semakin tinggi. Demam yang tidak diobati yang disebabkan oleh infeksi jarang yang melebihi 40,6 derajat C kecuali anak tersebut diberikan pakaian yang berlebihan atau terjebak dalam suatu tempat yang panas. Thermostat di otak akan menghentikan demam agar tidak melebihi 41,1 derajat C. Heatstroke atau hyperthermia tidak sama dengan demam, oleh karena peningkatan suhu tubuh yang terjadi bukan disebabkan hipotalamus menaikkan set pointnya. Ini dapat terjadi akibat berolahraga terlalu lelah tanpa minum yang cukup atau terpapar dengan lingkungan yang panas, dan bisa juga disebabkan oleh beberapa obat-obatan tertentu. Hyperthermia dapat membahayakan jiwa (Wibowo, S., 2006).
Demam yang tidak dapat dijelaskan yang berlangsung selama beberapa hari atau beberapa minggu disebut dokter sebagai FUO (fever of undetermined origin). Kebanyakan disebabkan oleh suatu infeksi yang tersembunyi (Wibowo, S., 2006).
Penyebab Umum
• Infeksi virus dan bakteri;
• Flu dan masuk angin;
• Radang tenggorokan;
• Infeksi telinga
• Diare disebabkan bakterial atau diare disebabkan virus.
• Bronkitis akut, Infeksi saluran kencing
• Infeksi saluran pernafasan atas (seperti amandel, radang faring atau radang laring)
• Obat-obatan tertentu
• Kadang-kadang disebabkan oleh masalah-masalah yang lebih serius seperti pneumonia, radang usus buntu, TBC, dan radang selaput otak.
• Demam dapat terjadi pada bayi yang diberi baju berlebihan pada musim panas atau pada lingkungan yang panas.
• Penyebab-penyebab lain: penyakit rheumatoid, penyakit otoimun, Juvenile rheumatoid arthritis, Lupus erythematosus, Periarteritis nodosa, infeksi HIV dan AIDS, Inflammatory bowel disease, Regional enteritis, Ulcerative colitis, Kanker, Leukemia, Neuroblastoma, penyakit Hodgkin, Non-Hodgkin's lymphoma (Wibowo, S., 2006).
Beberapa petunjuk untuk minum obat:
• Acetaminophen (paracetamol) dan ibuprofen dapat mengurangi demam pada anak dan dewasa. Beberapa merek dagang acetaminophen: Panadol, Tempra, Sanmol, Praxion, dll. Beberapa merek dagang ibuprofen: Proris, Rhelafen, Bufect, dll. Minum acetaminophen setiap 4 – 6 jam. Obat ini bekerja cepat dengan cara menurunkan thermostat otak. Minum ibuprofen setiap 6 – 8 jam. Seperti aspirin, ibuprofen membantu melawan peradangan pada sumber demam. Kadang-kadang dokter menganjurkan anda untuk menggunakan kedua macam obat ini bergantian. Sebenarnya hal ini belum didukung data mengenai keamanan dan keefektifannya. Ibuprofen tidak boleh dipakai untuk bayi denga usia kurang dari 6 bulan.
• Aspirin sangat efektif untuk mengobati demam pada orang dewasa. JANGAN memberikan aspirin pada anak-anak.
• Obat-obatan penurun panas tersedia dalam konsentrasi yang berbeda-beda, jadi selalu perhatikan instruksi pada kemasan.
• Jangan berikan obat-obatan apapun untuk menurunkan demam pada bayi berusia 3 bulan ke bawah tanpa petunjuk dokter (Wibowo, S., 2006).
Batasan suhu normal
Suhu normal rectal pada anak kurang dari 3 tahun sampai 380C, sedangkan suhu normal oral (mulut) sampai 37,50C. Pada anak berumur lebih dari 3 tahun suhu normal oral (mulut) sampai 37,20C, sedangkan suhu normal rectal sampai 37,80 C. American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan bila anak berumur kurang dari 2 bulan dengan suhu rectal lebih dari 37,90 C segera menghubungi dokter. Demikian pula bila bayi berumur 3-6 bulan dengan suhu rectal lebih dari 38,30 C atau berumur lebih dari 6 bulan dengan suhu lebih dari 39,40 C secepatnya anak diperiksakan ke dokter (Hardaningsih, G., 2007).
Demam pada bayi yang masih sangat muda (bayi baru lahir sampai usia di bawah 8 minggu) harus mendapat perhatian khusus, dan mungkin membutuhkan perawatan rumah sakit untuk mencari penyebab demam karena kemungkinan besar infeksi didapat dari proses persalinan, ataupun penyebab lain. Pada anak usia berapa pun bila terdapat peningkatan suhu tubuh lebih dari 40,5 0 C harus segera dibawa ke dokter (Hardaningsih, G., 2007).
Pada anak berumur kurang dari 3 tahun, semakin tinggi demam semakin serius penyebabnya. Bila anak tampak tidur berlebihan, kesadaran berubah, menolak minum susu, iritabel, perubahan perilaku dan bicara, terdapat gejala penyerta seperti gelisah, sakit kepala hebat kesulitan pernafasan, sakit perut, mual muntah, timbul rash pada kulit, telinga mengeluarkan cairan atau gejala lainnya yang tidak dapat dijelaskan segera menghubungi dokter secepatnya. Semakin tampak sakit, semakin besar kemungkinan demam berhubungan dengan proses infeksi berat (Hardaningsih, G., 2007).
Sebanyak 2 persen - 5 persen demam pada anak dapat mengakibatkan kejang. Kejang demam merupakan salah satu keadaan yang serius dan merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua atau orang yang melihatnya (Hardaningsih, G., 2007)
Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (380C, rectal) biasanya terjadi pada bayi dan anak antara umur 6 bulan dan 5 tahun yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Hardaningsih, G., 2007).
Perhatian dan kewaspadaan khusus diberikan bila demam muncul kembali pada anak yang pernah mengalami kejang demam, sehingga demam harus segera diturunkan karena diperkirakan cepatnya peningkatan temperatur menjadi pencetus untuk terjadinya kejang. (Hardaningsih, G., 2007).
Parasetamol (Asetaminofen) merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan sehari-hari. Obat ini berfungsi sebagai pereda nyeri dan penurun panas. Setelah berpuluh tahun digunakan, parasetamol terbukti sebagai obat yang aman dan efektif (Anonim, 2008)..
Tetapi, jika diminum dalam dosis berlebihan (overdosis), parasetamol dapat menimbulkan kematian. Parasetamol dapat dijumpai di dalam berbagai macam obat, baik sebagai bentuk tunggal atau berkombinasi dengan obat lain, seperti misalnya obat flu dan batuk. Antidotum overdosis parasetamol adalah N-asetilsistein (N-acetylcysteine, NAC). Antidotum ini efektif jika diberikan dalam 8 jam setelah mengkonsumsi parasetamol dalam jumlah besar. NAC juga dapat mencegah kerusakan hati jika diberikan lebih dini. Overdosis parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati (Anonim, 2008).

6.4. Pembahasan
Dari data percobaan yang diperoleh bahwa hewan percobaan mengalami kenaikan suhu setelah pemberian 2,4 dinitrofenol (DNF) yang bertindak sebagai pirogen eksogen yang menyebabkan demam. Demam terjadi karena terganggunya keseimbangangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus.Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin.Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang memacu penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus.Selain itu PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus.Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis PG.Tetapi demam yang timbul akibat pemberian PG tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik (P.F.Wilmana, 1995).
Dari data rata-rata diperoleh bahwa obat x lebih baik dalam menurunkan suhu tubuh dengan kata lain lebih kuat efek antipiretiknya dibandingkan dengan paracetamol, artinya sebagai obat antipiretik obat X memiliki efek farmakologi yang lebih baik dibanding Paracetamol. Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak antiradang. Dewasa ini pada umumya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Efek analgetisnya diperkuat oleh kofein dengan kira-kira 50% dan kodein Wanita hamil dapat menggunakan paracetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu. Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak interaktif. (Tjay, 2002).
Dari data juga terlihat suhu setelah pemberian obat naik turun, ini mungkin dipengaruhi cara pengukuran suhu tubuh pada rektal kurang tepat dan juga dipengaruhi duration of action serta onset of actionnya

VII. Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
- Efek dari pemberian 2,4- dinitrofenol adalah menyebabkan demam karena 2,4 dinitrofenol merupakan suatu pirogen eksogen yang dapat meningkatkan set point di hipotalamus sehingga timbul demam
- Efek parasetamol sebagai penurun panas yakni berdasarkan kerjanya yang mempengaruhi hipotalamus dengan menghambat COX-2 sehingga tidak terbentuk prostaglandin dan dengan vasodilatasi perifer sehingga suhu tubuh akan turun
- Efek antipiretik yang ditimbulkan oleh Obat X lebih besar daripada Parasetamol yang diberikan dalam dosis yang sama pada hewan percobaan
7.2. Saran
- Sebaiknya dalam percobaan diberikan juga obat-obat lain yang mempunyai efek antipiretik, misalnya : asetosal(aspirin) untuk membandingkan efek antipiretik yang dihasilkan.
- Sebaiknya digunakan juga hewan percobaan yang lain untuk melihat efek metabolisme hewan tersebut terhadap obat, karena proses metabolisme juga dipengaruhi oleh perbedaan spesies.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2008). Keracunan Parasetamol. www.wartamedika.com.
Guyton,A.C., Hall, J.T. (1996). Texbook Medical Physiology. Nineth Edition. Mississippi : W.B. Saundes Company. Pages 1146-1148.
Hardaningsih, G. (2007). www.wawasandigital.com
Katzung, B.G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 574-575.
Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Widya Medika. Hal. 221-223.
Tjay, T.H., K. Rahardja. (2002).Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Kelima. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 297-298.
Schunak. W. (1990). Senyawa Obat. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 290.
Wibowo, S. (2006). Demam. www.suryo-wibowo.blogspot.com.

DIURETIK

I. Pendahuluan
Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan mempengaruhi ginjal secara tidak langsung tidak termasuk dalam defenisi ini, misalnya, zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin),memperbesar volume darah (dekstran), atau merintangi sekresi hormon anti diuretik ADH (Tjay, T.H., K. Rahardja, 2002).
Obat-obatan yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine disebut Diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat transpor ion yang menurunkan reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl+ memasuki urine dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal bersama-sama air, yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotic. Perubahan Osmotik dimana dalam tubulus menjadi menjadi meningkat karena Natrium lebih banyak dalam urine, dan mengikat air lebih banyak didalam tubulus ginjal. Dan produksi urine menjadi lebih banyak. Dengan demikian diuretic meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya serta komposisi ion didalam urine dan darah (Halimudin, 2007).
Ada beberapa jenis Diuretik, yang sudah dikenal dan sering digunakan dalam pengobatan klien dengan masalah gangguan cairan dan elektrolit. Jenis-jenis tersebut adalah Penghambat Karbonik Anhidrase, Diuretik Kuat (loop Diuretik), Diuretik Tiazid, Diuretik Hemat Kalium, Antagonis ADH dan Diuretik Osmotik (Halimudin, 2007).
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik ini. Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diure-tik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak. Kedua, status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik. Ketiga, interaksi antara obat dengan reseptor. Sebagaimana umumnya diketahui, diuretik digunakan untuk merangsang terjadinya diuresis. Penggunaan diuretik sudah demikian luas (Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui efek dari obat diuretik pada hewan percobaan
- Untuk mengetahui volume urine yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat diuretik
- Untuk mengetahui mekanisme kerja dari obat diuretik

III. Prinsip Percobaan
Berdasarkan mekanisme kerja furosemid sebagai obat diuretik kuat yaitu menghambat reabsorpsi elektrolit Na+ /K+ / Cl- di ansa henle asendens sehingga meningkatkan kecepatan pembentukan urin

IV. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan cara bekerja, ada beberapa jenis diuretik yang diketahui pada saat ini. Antara lain :
1.Diuretik osmotik dan Aquaretics. Manitol, glukosa, urea, demeklosiklin, atrial natriuretic peptide.
Istilah diuretic Osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diskskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretic osmotic apabila memenuhi 4 syarat: (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus. (2) tidak atau hanya sedikit direbasorbsi sel tubulus ginjal. (3) secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik. Dengan sifat-sifat ini, maka diueretik osmotic dapat diberikan dalam jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolalitas plasma, filtrate glomerulus dan cairan tubuli. Diuretik Osmotik (manitol) adalah Diuretik yang digunakan dan mempuyai efek meningkatkan produksi urin, dengan cara meningkatkan tekanan osmotic di Filtrasi Glomerulus dan tubulus. Mencegah tubulus mereabsorbsi air. Tubulus proksimal dan ansa henle desenden sangat permeable terhadap reabsobsi air. Diuretik osmotik yang tidak ditransportasi menyebabkan air dipertahankan disegmen ini, yang dapat menimbulkan diuresis air. Contoh lain dari Golongan obat anti DIuretik osmotic adalah: uera, gliserin, isosorbit (Halimudin, 2007).
2.Penghambat karbonik anhidrase ginjal. Acetazolamide.
3.Diuretik tiasid.
4.Diuretik loop. Furosemide, Bumetanide, asam etakrinik.
5.Diuretik distal ('Potassium Sparing Diuretic ). Spironolakton, Amiloride, Triamterene.
6.Diuretik urikosurik. Tikrinafen , Indakrinon, asam etakrinik (Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).
Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan akibat penggunaan suatu diuretik. Secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu : (1) diuretik osmotik ; (2) penghambat mekanisme transpor elektrolit di dalam tubuli ginjal. Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretik osmotik apaila memenuhi 4 syarat : (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus; (2) tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal; (3) secara farmakologis merupakan zat yang inert; dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik. Dengan sifat-sifat ini, maka diuretik osmotik dapat diberikan dalam jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolaritas plasma, filtrat glomerulus, dan cairan tubuli (Sunaryo, 1987).
Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium dan air, sehingga pengeluarannya lewat kemih diperbanyak. Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli. Tetapi juga di tempat lain, yakni di:
1. Tubuli Proksimal. Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi secara aktif untuk lebih kurang 705, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorpsi berlangsung secara proporsionalk, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmotis (manitol, sorbitol) bekerja di sini dengan merintangi reabsorpsi air dan juga natrium.
2. Lengkungan Henle. Di bagian menaik lengkungan Henle ini, sekitar 25% dari semua ion Clֿ yang telah difiltrasi direabsorpsi secara aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan, seperti furosemid, bumetanida, dan etakrinat bekerja terutama di sini dengan merintangi transpor Clֿ dan demikian reabsorpsi Na+. Pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak.
3. Tubuli distal. Di bagian pertama segmen ini, Na+.direabsorpsi secara aktif pula tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. Senyawa thiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan Clֿ sebesar 5-10%. Di bagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+(Tjay, T.H., dan Kirana Rahardja, 2002).
Diuretik kuat(High-ceiling diuretics) mencakup sekelompok diuretik yang efeknya sangat kuat dibandingkan dengan diuretik lain. Tempat kerja utamanya di bagian epitel tebal ansa Henle bagian asenden, karena itu kelompok obat ini disebut juga sebagai loop diuretics. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid, dan bumetanid (Sunaryo, 1987).
Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mulai kerja yang lebih pendek dari tiazid. Hal ini sebagian besar ditentukan oleh faktor farmakokinetik dan adanya mekanisme kompensasi. Diureti kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit di ansa Henle asendens bagian epitel tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal(yang menghadap ke lumen tubuli). Obat ini, terutama pada pemberian secara IV, cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Perubahan hemodinamik ginjal ini mengakibatkan menurunnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal serta meningkatnya efek awal diuresis (Sunaryo, 1987).
Peningkatan aliran darah ginjal ini relatif hanya berlangsung sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstrasel akibat diuresis, maka aliran darah ginjal cenderung menurun, dan hal ini mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal. Hal yang terakhir ini agaknya merupakan suatu mekanisme kompensasi yang membatasi jumlah zat terlarut yang mencapai bagian epitel tebal ansa Henle asendens, dengan demikian akan mengurangi diuresis (Sunaryo, 1987).
Furosemid dan bumetanid mempunyai daya menghambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya merupakan derivat sufonamid, seperti juga tiazid dan asetozolamid, tetapi aktivitasnya terlalu lemah untuk menyebabkan diuresis di tubuli proksimal. Asam etakrinat tidak menghambat enzim karbonik anhidrase. Efek diuretik kuat terhadap segmen yang lebih distal dari ansa Henle asendens epitel tebal, belum dapat dipastikan, tetapi dari besarnya diuresis yang terjadi, diduga obat ini bekerja juga di segmen tubuli lain (Sunaryo, 1987).
Ketiga obat ini juga menyebabkan meningkatnya ekskresi K+ dan kadar asam urat plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama dengan tiazid. Ekskresi Ca++ dan Mg++ juga ditingkatkan sebanding dengan peninggian ekskresi Na.Berbeda dengan tiazid,Golongan ini tidak meningkatkan reabsorpsi Ca++ di tubuli distal. Berdasarkan atas efek kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan simtomatik hiperkalsemia (Sunaryo, 1987).
Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi(titrable acid) dan amonia. Fenomena yang diduga terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya alkalosis metabolik.Bila mobilisasi cairan udem terlalu cepat, alkalosis metabolik oleh diuretik kuat ini terutama terjadi akibat penyusutan volume cairan ekstrasel. Sebaliknya pada penggunaan yang kronik, faktor utama penyebab alkalosis ialah besarnya asupan garam dan ekskresi hidrogen dan kalium.Alkalosis ini seringkali disertai dengan hiponatremia, tetapi masing-masing disebabkan oleh mekanisme yang berbeda (Sunaryo, 1987).
Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat, antara lain karena gangguan saluran cerna yang lebih ringan. Diuretik kuat efektif untuk pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal. Sebaiknya diberikan secara oral, kecuali bila diperlukan diuresis yang segera, maka dapat diberikan secara IV atau IM. Pemberian parenteral ini diperlukan untuk mengatasi udem paru akut. Pada keadaan ini perbaikan klinik dicapai karena terjadi perubahan hemodinamik dan penurunan volume cairan ekstrasel dengan cepat sehingga alir balik vena(venous return) dan output ventrikel kanan berkurang. Untuk mengatasi udem kronik, diuretik kuat biasanya diberikan bersama diuretik alin, terutama diureik hemat kalium (Sunaryo, 1987).
Bila ada nefrosis atau gagal ginjal kronik maka diperlukan dosis furosemid jauh lebih besar daripada dosis biasa. Diduga hal ini disebabkan oleh banyaknya protein dalam cairan tubuli yang akan mengikat furosemid sehingga menghambat diuresis.pada penderita dengan uremia, sekresi furosemid melalui tubuli menurun. Diuretik kuat juga digunakan pada penderita gagal ginjal akut, namun hasilnya tidak menentu. Diuretik kuat dapat menurunkan kadar kalsium plasma pada penderita hiperkalsemia simtomatik dengan cara meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin (Sunaryo, 1987).
Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mulai kerja yang lebih pendek dari tiazid. Hal ini sebagian besar ditentukan oleh faktor farmakokinetik dan adanya mekanisme kompensasi. Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit di ansa Henle asendens bagian epitel tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal(yang menghadap ke lumen tubuli). Obat ini, terutama pada pemberian secara IV, cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Perubahan hemodinamik ginjal ini mengakibatkan menurunnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal serta meningkatnya efek awal diuresis (Sunaryo, 1987).
Obat yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urin disebut diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat transpor ion yang menurunkan reabsorpsi Na+ pada bagian-bagian nefron yang berbeda. Akibatnya, Na+ dan ion lain seperti Clֿ memasuki urin dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan bila keadaan normal bersama-sama air, yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Jadi, diuretik meningkatkan volume urin dan meningkatkan pH-nya serta komposisi ion di dalam urin dan darah. Efektivitas berbagai kelas diuretik yang berbeda, sangat bervariasi dengan peningkatan sekresi Na+ bervariasi dari kurang 2% untuk diuretik hemat kalium yang lemah, sampai lebih dari 20% untuk “loop diuretics” yang poten. Penggunaan klinis utamanya adalah dalam menangani kelainan yang melibatkan retensi cairan (edema) atau dalam mengobati hipertensi dengan efek diuretiknya menyebabkan penurunan volume darah, sehingga terjadi penurunan tekanan darah (Mycek, 2001).
PENGOBATAN DIURETIK DALAM BIDANG NEFROLOGI
Diuretik Pada Hipertensi
Penggunaan diuretik untuk hipertensi pada mulanya dila-kukan sebagai pengobatan langkah pertama dengan cara stepped-care. Dapat digunakan segagai obat tunggal atau di-kombinasi dengan anti hipertensi lain. Penambahan diuretik pada obat lain diharapkan dapat menghasilkan efek yang optimal. Kaplan NM, menggambarkan skema perubahan hemodi-namik akibat efek antihipertensi dari diuretik sebagai berikut. Akibat hambatan reabsorbsi natrium dan kkirida, volume plasma dan cairan ekstrasel akan berkurang. Akibatnya curah jantung akan menurun. Pada pemakaian jangka lama, volume plasma akan kembali menuju normal dan bersamaan dengan ini resistensi perifer akan turun. Penurunan resistensi ini dikatakan oleh karena turunnya kadar natrium dan berkurangnya air dari dinding pembuluh darah dan juga disebabkan oleh berkurangnya kalsium intrasel.
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesikan simpanan natrium tubuh. Awalnya, diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume darah dan curah jantung, tahanan vaskuler perifer. Penurunan tekanan darah dapat terlihat dengan terjadinya diuresis. Diuresis menyebabkan penurunan volume plasma dan stroke volume yang akan menurunkan curah jantung dan akhirnya menurunkan tekanan darah. Obat-obat diuretik yang digunakan dalam terapi hipertensi yaitu :Diuretik golongan tiazid Diuretik kuat Diuretik hemat kalium (Purwanto, W.E., 2008).
Diuretik Pada Sindrom Nefrotik
Terjadinya edema pada sindrom nefrotik akibat adanya retensi natrium dan air serta adanya hipoalbuminemia. Penggunaan diuretik pada sindrom nefrotik bukan sebagai terapi kausal. Diuretik baru diberikan bila dengan pengurangan asupan garam dan air tidak mengurangi edema yang ada. Diuretik yang sering digunakan adalah jenis diuretik loop. Tetapi dapat juga diberikan golongan penghambat reabsorbsi natrium di tubulus distal.
Diuretik Pada Gagal Ginjal
Gagal Ginjal Akut
Dalam percobaan binatang, dikatakan, diuretik dapat memperbaiki aliran urin, laju filtrasi glomeruler dan tekanan hidrostatik kapiler glomerulus. Keadaan ini disebabkan oleh efek vasodilatasi dari manitol, furosemid dan asam etakrinik. Efek vasodilatasi ini dikatakan melalui peningkatan produksi prostaglandin. dalam ginjal. Disamping itu, manitol dapat mengurangi pembengkakan sel tubulus ginjal. Aliran urin yang lebih cepat akibat pemberian diuretik akan mengurangi obstruksi tubulus dari sel-sel yang rusak. Pada manusia, efek diuretik tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan. Masih banyak pertentangan pendapat akan efek diuretik ini. Ada yang mengatakan dapat memperpendek masa oliguria, mengurangi kemungkinan untuk dialisis, namun angka kematian masih tetap tinggi. Walaupun demikian, diuretik mempunyai tempat untuk dipakai pada pasien dengan gagal ginjal akut dengan tujuan untuk meningkatkan diuresis. Kita harus membedakan apakah keadaan gagal ginjal akut di-sebabkan kekurangan cairan (pre renal) atau tidak ada ke-kurangan cairan. Disamping itu, kita harus mempertimbangkan efek toksik dari diuretik sendiri. Misalnya efek ototoksik dari furosemid. Dilain pihak, kita juga harus mengingat, diuretik dapat sebagai penyebab dari gagal ginjal akut (nefritis tubulo-intersisiil akut). Bila tidak terdapat kekurangan cairan, furosemid dapat diberikan secara bertahap 80 - 320 mg/i.v. atau manitol 12,5 - 25 gram i.v .
Gagal Ginjal Kronik
Pada keadaan ini efek diuresis akn berkurang bila laju filtrasi glomerulus berkurang (Tes Kliren Kreatinin kurang dari 20 ml/menit). Pemberian diuretik hanya berdasarkan indikasi yaitu hipertensi, kelebihan cairan (dekompensasi jantung, edema yang berat), pencegahan berkurangnya fungsi ginjal setelah pemberian kontras radiografi, pada saat anastomosis dilakukan dalam transplantasi ginjal (Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).
MASALAH YANG TIMBUL PADA PEMBERIAN DIURETIK
Hipokalemia
50% kalium yang difiltrasi oleh glomerulus akan direab-sorbsi di tubulus proksimal dan sebagian besar dari sisanya di-reabsorbsi di ascending limb loop dari Henle. Hanya 10% yang mencapai tubulus konvolutus distal. Kalium ada yang disekresi di pars recta tubulus distal. Terjadinya hipokalemia pada pemberian diuretik disebabkan oleh: ¬
- Peningkatan aliran urin dan natrium di tubulus distal, meningkatkan sekresi kalium di tubulus distal. ¬
- Peningkatan kadar bikarbonat (muatan negatip meningkat) dalam tubulus distal akibat hambatan reabsorbsi di tubulus proksimal oleh penghambat karbonik anhidrase akan me-ningkatkan sekresi kalium di tubulus distal. ¬
- Diuretik osmotik akan menghambat reabsorbsi kalium di tubulus proksimal. ¬
- Diuretik loop juga menghambat reabsorbsi kalium di thick ascending limb.
Hiperkalemia
Pemberian diuretik jenis potassium-sparing akan mening-katkan- kadar kalum darah.
Ada 3 jenis diuretik ini yaitu Spiro-nolakton,. Amiloride, Triamterene.Kerja Spironolakton ber-gantung pada tinggi rendahnya kadar Aldosteron. Amiloride dan Triamterene tidak tergantung pada Aldosteron. Seluruhnya menghambat sekresi kalium di tubulus distal. Kita harus berhati-hati atau sebaiknya diuretik jenis ini tidak diberikan pada keadaan gagal ginjal, diabetes mellitus, dehidrasi berat atau diberikan bersama preparat yang me-ngandung kalium tinggi.
Hiponatremia
Tanda-tanda hiponatremia akibat diuretika ialah kadar natrium urin > 20 mq/L, kenaikan ringan ureum dan kreatinin, hipokalemia dan terdapat alkalosis metabolik. Hiponatremia dapat memberikan gejala-gejala bahkan kematian. Cepatnya penurunan kadar natrium (kurang dari 12 jam), kadar natrium < 110 meq/L, terdapat gejala susunan saraf pusat, merupakan pertanda buruk akibat hponatremia. Keadaan ini harus di-tanggulangi secepatnya.
Deplesi Cairan
Pengurangan cairan ekstraseluler merupakan tujuan utama dalam pemakaian diuretik. Keadaan ini sangat menguntungkan pada edema paru akibat payah jantung. Pada keadaan sindrom nefrotik, terutama dengan hipoal-buminemi yang berat, pemberian diuretik dapat menimbulkan syok atau gangguan fungsi ginjal. Tidak dianjurkan penurunan berat b.adan lebih dari 1 kg sehari.
Gangguan Keseimbangan Asam Basa
Diuretik penghambat karbonik anhidrase dapat menyebabkan asidosis metabolik akibat dua proses di atas. Diuretik potassium¬sparing menghambat sekresi ion¬H se-hingga dapat menyebabkan asidosis metabolik. Asidosis metabolik yang diakibatkan diuretik biasanya tidak disertai peninggian anion gap (Na (HCO3 + Cl) < 16 mcq/L).
Gangguan Metabolik
a)Hiperglikemi
Diuretik dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa (hiperglikemi). Hipokalemia akibat pemberian diuretik di-buktikan sebagai penyebab gangguan toleransi ini (respon insulin terhadap glukosa pada fase I dan fase II terganggu). Diuretik potassium¬sparing tidak menyebabkan gangguan toleransi glukosa.
b)Hiperlipidemia
Trigliserida, kolesterol, Chol¬HDL, Chol¬VLDL akan me-ningkat dan Chol¬HDL akan
berkurang pada pemberian diuretik jangka lama (> 4 minggu).
c)Antagonis Aldosteron akan menghambat ACTH, meng-ganggu hormon androgen (anti androgen). Mengakibatkan terjadinya ginekomastia atau gangguan menstruasi.
d)Hiperurikemia Penggunaan diuretik dapat menyebabkan peningkatan kadar asam urat. Karena terjadi pengurangan volume plasma maka filtrasi melalui glomerulus berkurang dan absorbsi oleh tubulus meningkat. Dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya hipo-natremi. Bila natrium dikoreksi, kliren asam urat akan di-perbaiki.
e)Hiperkalsemia. Pemberian diuretik tiasid akan meninggikan kadar kalsium darah. Ekskresi kalsium melalui urin akan berkurang. Pe-ninggian kalsium darah ini disebutkan juga mempunyai hu-bungan dengan keadaan hiperparatiroid. Dari penelitian epidemiologi di Stockholm dilaporkan bahwa 70% dari orang yang hiperkalsemi setelah mendapat diuretik, menderita adenoma paratiroid.
f)Hipokalsemia. Diuretik loop menyebabkan hipokalsemi akibat peningkatan ekskresi kalsium melalui urin (Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).
Toksisitas
a)Diuretik dapat menyebabkan nefritis intersiil akut melalui reaksi hipersensitifitas.
b)Dapat menginduksi terjadinya artritis goutdan pengeluaran batu asam urat pada penderita dengan riwayat gout.
c)Hipokalemi kronik akibat penggunaan diuretik dapat me-nimbulkan nefropati hipokalemi.
d)Diuretik loop terutama furosemid dapat menyebabkan ototoksisiti. Lebih nyata lagi bila ada gagal ginjal. Gabungan dengan aminoglikosida dapat menyebabkan ganggu-an menetap pada pendengaran (Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).
Diuretik kuat bekerja dengan mengahambat reabsorpsi NaCl secara selektif di bagian tebal ansa Henle bagian asendens. Karena kepastian reabsorpsi NaCl-nya besar di segmen ini dan fakta bahwa diuresis tidak dibatasi oleh adanya asidosis seperti penghambat karbonik anhidrase, obat-obat ini merupakan diuretik yang tersedia paling efektif (Katzung, B.G., 1998).
Obat-obat ini menghambat sistem transpor pasangan Na+/K+/2Cl-. Dengan menghambat pentraspor ini, diuretik tersebut menurunkan reabsorpsi NaCl dan juga mengurangi potensial positif lumen normal yang didapat dari daur ulang K+. Diuretik kuat bekerja dengan menghilangkan potensial positif lumen, menyebabkan peningkatan ekskresi Mg2+ dan Ca2+ (Katzung, B.G., 1998).

6.4. Pembahasan
Berdasarkan percobaan, kelinci pertama sebagai kelinci kontrol yang tidak diberi furosemid mengalami pengeluaran urine seperti biasanya. Pada kelinci kedua peningkatan urin yang dikeluarkan menunjukkan bahwa furosemid telah bekerja. Karena memberikan volume yang lebih besar dari kelinci kontrol. Sedangkan pada kelinci ketiga yaitu kelinci dengan pemberian secara i.v. justru tidak memberikan efek diuresis (volume urin yang terbentuk jauh lebih kecil daripada kelinci kontrol). Dan kelinci kedua dan ketiga hanya menunjukkan efek pada 1 jam pertama saja. Hal ini sesuai dengan teori sebab furosemid mulai kerjanya pesat, oral dalam 0,5-1 jam dan bertahan 4-6 jam, intravena dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya (Tjay, T.H, dan Kirana Rahardja, 2007).
Furosemid merupakan diuretik yang efek utamanya pada pars asendens ansa henle. Obat-obat yang bekerja di salah satu bagian nefron ini memiliki efektivitas yang tertinggi dalam memobilisasi Na+ dan Cl- dari tubuh sehingga merupakan diuretic yang paling efektif dalam meningkatkan volume urin. Hal ini disebabkan karena pars asendens bertanggung jawab untuk reabsorpsi 25-30% NaCl yang disaring.
Seharusnya kelinci yang diberikan furosemid secara intravena memberikan efek yang diuresis yang lebih besar daripada kelinci yang diberikan furosemid secara intramuskular. Obat yang diberikan secara intravena tidak mengalami tahap absorpsi sehingga kadar obat dalam darah diperoleh dengan cepat dan tepat. Sedangkan pada pemberian obat secara intramuskular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi (Setiawati, A., A. Muchtar, 1987).
Kesalahan yang terjadi dapat disebabkan oleh tidak masuknya seluruh obat dan juga dapat disebabkan oleh perbedaan dalam hal faktor fisiologi dari hewan percobaan yang digunakan. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respons penderita. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi (Setiawati, A., A. Muchtar, 1987).


VII. Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
- Efek dari obat efek utamndiuretik ialah meningkatkan volume urin yang diproduksi serta meningkatkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dan air
- Volume urine yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat diuretik semakin bertambah.
- Mekanisme kerja obat diuretic yaitu menghambat reabsorpsi elektrolit Na+ pada bagian-baguan nefron yang berbeda, akibatnya Na+ dan ion lain seperti Cl- memasuki urin dalam jumlah yang banyak dibandingkan bila dalam keadaan normal bersama-sama air, yang mengangkkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotik sehingga meningkatkan volume urin.

7.2. Saran
- Sebaiknya digunakan juga obat-obat diuretik dari golongan yang lain agar dapat dibandingkan efek diuresis yang ditimbulkan dan dapat diketahui mana yang lebih baik..
- Sebaiknya digunakan juga obat diuretik kuat lainnya seperti bumetanid, asam etakrinat agar dapat dibandingkan obat mana yang paling efektif dalam meningkatkan kecepatan pembentukan urin.

DAFTAR PUSTAKA

Halimudin. (2007). Terapi Diuretik Osmotik (Manitol) Pada Gangguan Sistim Persarafan. www.nardinurses.files.wordpress.com.
Katzung, B.G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 252.
Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C. (1997). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Widya Medika. Hal. 230-231.
Purwanto, W.E. (2008). Penggunaan Diuretik Pada Hipertensi. www.yosefw.wordpress.com.
Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar. (2008). Masalah Penggunaan Diuretika. www.kalbe.co.id.
Tjay, T.H., K. Rahardja. (2002).Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi Kelima. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal.

CARA PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN RUTE PEMBERIAN OBAT

I. PENDAHULUAN

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan keselamatan manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki,yang dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke 16 di Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964 (Sulaksono, M.E., 1987).

Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentang segi etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian. Disebutkan, perlunya dilakukan percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia

(Sulaksono, M.E., 1987).

Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Sulaksono, M.E., 1987).

Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk menentukan toksisitasnya. Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu (Anonim I., 2008).

Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih cepat dan bermanfaat. Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya harus ditentukan untuk mencapai efek yang maksimal (Anonim I., 2008).

II. TUJUAN PERCOBAAN

- Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan percobaan.

- Untuk mengetahui berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan.

- Untuk mengetahui teknik pemberian obat melalui rute intraperitoneal (i.p.) dan secara oral.

- Untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.

- Untuk menyatakan onset of action obat berdasarkan rute yang diberikan.

- Untuk menyatakan duration of action obat berdasarkan rute yang diberikan.

- Untuk mengetahui efek dari pemberian Luminal Natrium berdasarkan dosis dan rute pemberian terhadap hewan percobaan.

III. PRINSIP PERCOBAAN

- Penandaan hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan menggunakan spidol permanen dengan bentuk-bentuk tertentu.

- Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal), sehingga dapat diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat.

- Dengan membandingkan peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.

IV. TINJAUAN PUSTAKA

Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu

1). Hewan liar.

2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.

3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim barrier (tertutup).

4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E., 1987).

Jenis-jenis Hewan percobaan:

No

Jenis hewan percobaan

Spesies

1.

Mencit (Laboratory mince)

Mus musculus

2.

Tikus (Laboratory Rat)

Rattus norvegicus

3.

Golden (Syrian) Haruster

Mescoricetus auratus

4.

Chinese Haruster

Cricetulus griseus

5.

Marmut

Cavia porcellus (Cavia cobaya)

6.

Kelinci

Oryctolagus cuniculus

7.

Mongolian gerbil

Meriones unguiculatus

8.

Forret

Mustela putorius furo

9.

Tikus kapas (cotton rat)

Sigmodon hispidus

10.

Anjing

Canis familiaris

11.

Kucing

Fells catus

12.

Kera ekor panjang (Cynomolgus)

Macaca fascicularis (Macaca irus)

13.

Barak

Macaca nemestrina

14.

Lutung/monyet daun

Presbytis ctistata

15.

Kera rhesus

Macaca mulata

16.

Chimpanzee

Pan troglodytes

17.

Kera Sulawesi

Macaca nigra

18.

Babi

Sus scrofa domestica

19.

Ayam

Gallus domesticus

20.

Burung dara

Columba livia domestica

21.

Katak

Rana sp.

22.

Salamander

Hynobius sp.

No

Jenis hewan percobaan

Spesies

23

Lain-lain

Cara memegang hewan (handling) dan penentuan jenis kelamin

Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya

(Sulaksono, M.E., 1992).

Identiftikasi (Pemberian tanda pada hewan).

Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah disamping untuk mencegah kekeliruan hewan dalam sistim pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam percobaan. Bermacam-macam cara yang dipakai dalam identifikasi tergantung kepada selera dan juga lama tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara. (marking, ear punching, too clipping, ear tags, tattocing, coat colors) (Sulaksono, M. E., 1992).

Obat dalam tubuh akan mengalami beberapa fase yaitu:

- Fase farmasetik

- Fase farmakokinetik

- Fase farmakodinamik

Fase-fase estafet utama dalam aksi obat dalam tubuh dapat dilihat:

Dosis

Disintegrasi bentuk dosis

Disolusi Substansi Aktif


I. Fase Farmasetik


Optimasi ketersediaan

farmasetik

Absorpsi

Distribusi

Biotransformasi

Ekskresi


II. Fase Farmakokinetik

Optimasi ketersediaan

biologik

Interaksi obat reseptor dalam jaringan target


III. Fase Farmakodinamik

Optimasi efek biologik

yang dikehendaki

Efek

(Reksohadiprodjo, M.S., 1994)

Rute Penggunaan Obat

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a. tujuan terapi mengkehendaki efek lokal atau efek sistemik

b. apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama

c. stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus

d. keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute

e. rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter

f. kemampuan pasien menelan obat melelui oral (Anief, M., 1994).

Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan efek terapi/obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedangkan efek lokal adalah efek obat yang hanya berkerja setempat misalnya salep

(Anief, M., 1994).

Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:

  1. oral melalui saluran gastrointestinal atau rektal
  2. parenteral dengan cara intravena, intramuskular dan subkutan
  3. inhalasi langsung ke dalam paru-paru

Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:

  1. intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan pada mata, hidung, telinga
  2. intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
  3. rektal, uretral, dan vaginal dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat melelh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan.

Rute penggunaan obat dapat dengan cara:

  1. melalui rute oral
  2. melalui rute parenteral
  3. melalui rute inhalasi
  4. melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
  5. melalui rute kulit (Anief, M., 1994).

Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut:

No.

Istilah

Letak masuk dan jalan absorpsi obat

1.

Per oral (per os)

Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung), penyerapan obat melalui membran mukosa pada lambung dan usus memberi efek sistemik

2.

Sublingual

Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat mellaui membran mukosa, memberi efek sistemik

3

Parenteral atau injeksi

a. intravena

b. intrakardial

c. intrakutan

d. subkutan

e. intramuskular

melalui selain jalan lambung dengan merobek beberap jaringan

Masuk pembuluh darah balik (vena), memberi efek sistemik

Menembus jantung, memberi efek sistemik

Menembus kulit, memberi efek sistemik

Di bawah kulit, memberi efek sistemik

Menembus otot daging, memberi efek sistemik

4

Intranasal

Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal

5

Aural

Diteteskan pada lubang telinga, memberi efek lokal

No.

Istilah

Letak masuk dan jalan absorpsi obat

6

Intrarespiratoral

Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, memberi efek lokal

7

Rektal

Dimasukkan ke dalam dubur, memberi efek lokal + sistemik

8

Vaginal

Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita, memberi efek lokal

9

Uretral

Dimasukkan ke dalam saluran kencing, memberi efek lokal

(Anief, M., 1994).

SEDATIVA DAN HIPNOTIKA

Hipnotika atau obat tidur (Yun: hypnos= tidur) adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Lazimnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bilamana zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedativa (obat-obat pereda). Oleh karena itu, tidak ada perbedaan yang tajam antara kelompok obat sedativa maupun kelompok obat hipnotika (Tjay, T.H., 2002).

Hipnotika/ sedativa, seperti juga antipsikotropika (neuroleptika), termasuk ke dalam kelompok psikoleptika yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat fungsi-fungsi SSP tertentu (Tjay, T.H., 2002).

Sedativa berfungsi untuk menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat utamanya tidak menekan SSP, misalnya seperti antikolinergika (Tjay, T.H., 2002).

Hipnotika menimbulkan rasa kantuk (drowsiness), mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah mengenai sifat-sifat EEG-nya. Selain sifat-sifat ini, secara ideal obat tidur tidak menimbulkan aktivitas sisa pada keesokan harinya (Tjay, T.H., 2002).

GOLONGAN BARBITURAT

Di samping sebagai sedatif dan hipnotik, golongan barbiturat dapat pula dimanfaatkan sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan adalah barbiturat kerja lama. (long-acting barbiturates). Di sini dibicarakan khasiat antiepilepsi prototipe barbiturat, fenobarbital, mefobarbital, dan metarbital; serta primidon yang mirip dengan barbiturat (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi. Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi pembentukan fosfatase berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis neurotransmiter misalnya Ch, dan untuk repolarisasi membran sel neuron setelah depolarisasi

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

FENOBARBITAL

Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya, membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi dengan potensi terkuat, tersering di­gunakan, dan termurah. Dosis efektif relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap efek samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-tamin atau stimulan sentral lainnya tanpa menghi-langkan khasiat antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil; kadang-kadang hanya timbul ruam skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang berat pada penggunaan sebagai antiepilepsi belum pernah dilaporkan. Fenobarbital adalah obat terpilih untuk memulai terapi epilepsi grand mal. Karena efek toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya dengan fenitoin, penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai serangan kortikal lainnya; juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya terbatas, karena sifat antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, feno­barbital sering cocok untuk terapi awal serangan absence, spasme mioklonik, dan epilepsi akinetik; apalagi mengingat kemungkinan komplikasi serang­an tonik-klonik umum (grand mal) pada ketiga je-nis epilepsi tersebut. Terhadap epilepsi psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams berhati-hati, oleh karena ada kemungkinan terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama hams di-ingat oleh mereka yang menggunakan fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiap kelainan dengan konvulsi (umpamanya pada bidang kesehatan anak) (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Untuk mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma optimal, berkisar antara 10 sampai 30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pem­berian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi serangan kembali, atau malahan serangan status epileptikus

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

MEFOBARBITAL

Mefobarbital (asam 3-metil-5.5-feniletil barbi­turat), efek sedatifnya lebih lemah daripada feno- barbital; demikian pula khasiat antikonvulsinya. Tetapi mefobarbital tetap efektif terhadap grand mal. Sifat-sifatnya dan efektivitasnya sama de­ngan fenobarbital karena terjadi N-demetilasi di hati. Khasiat mefobarbital terhadap petit mal jelas me-lebihi fenobarbital, akan tetapi kurang bila diban-dingkan dengan obat yang selektif terhadap petit mal. Dosis yang biasa diberikan pada orang dewasa adalah 400-600 mg sehari dalam dosis terbagi

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

METARBITAL

Metarbital diperoleh dengan metilasi-N3 pada barbital dan menjadi asam 3-metil-5,5-dietilbar-biturat. Senyawa ini merupakan jenis barbiturat dengan masa kerjanya paling lama. Metarbital tidak memiliki gugus fenil (yang memberikan si-fat antikonvulsi); tetapi dalam kombinasi ataupun sebagai obat tunggal berguna terhadap grand mal yang sudah refrakter terhadap pengobatan lazim; juga terhadap epilepsi mioklonik dan petit mal. Khusus terhadap spasme mioklonik pada anak kecil (infant) metarbital paling baik khasiatnyajdan pada kelainan dengan konvulsi akibat kerusakan pada otak, metarbital juga sangat berguna

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Efek samping berupa kantuk, pusing, gelisah, gangguan lambung, dan ruam kulit. Dosis awal dewasa adalah 100-300 mg sehari diberikan terbagi 2-3 kali sehari dan dapat dinaik-kan menjadi 800 mg sehari. Untuk anak 5-15 mg/ kg berat badan sehari, diberikan terbagi. (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995)

Obat hipnotik dapat menimbulkan rasa mengantuk dan memperlama keadaaan tidur. Efek hipnotik lebih bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat daripada sedasi dan obat ini dapat diperoleh secara mudah pada kebanyakan obat-obat sedatif dengan jalan meningkatkan dosis

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Walaupun begitu, pada masing-masing obat, terdapat perbedaan dalam hubungan antara dosis dan tingkat depresi susunan saraf pusat. Dua contoh dari hubungan dosis-respon diperlihatkan pada Gambar 21-1. Slope yang linier dari obat A adalah khas dari kebanyakan obat sedativa-hipnotika yang lebih tua, termasuk barbiturat dan alkohol. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian. Deviasi dari hubungan linier dosis-respon seperti terlihat pada obat B, akan memerlukan proporsi yang lebih besar dalam peningkatan dosis untuk mendapatkan depresi susunan saraf pusat yang lebih dalam daripada hipnosis. Hal ini menunjukkan/ ditunjukkan oleh kebanyakan obat dari golongan benzodiazepin, dan batas keamanaan yang lebih besar merupakan penawaran yang penting dalam penggunaan klinik yang luas untuk mengobati keadaan ansietas dan gangguan tidur.

Koma Obat A

E

F Anestesi Obat B

E

K

Hipnosis

S

S

P Sedasi

Kenaikan Dosis

(Katzung, B.G., 1998)

VI. METODE PERCOBAAN

5.1. Alat dan Bahan

5.1.1. Alat

- oral sonde mencit

- spidol permanent

- spuit 1 ml

- beaker glass 25 ml

- erlenmeyer 10 ml

- labu tentukur 100ml

- jam tangan

- timbangan elektrik

5.1.2. Bahan

- mencit 5 ekor

- akuadest

- luminal Na konsentrasi 0,7%

5.2. Prosedur Percobaan

  1. Penandaan Hewan

- dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa kandang

- ditandai ekor mencit dengan spidol permanent

- diletakkan di atas timbangan elektrik, kemudian catat beratnya

  1. Persiapan Hewan

- dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa kandang

- dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri

- ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna

- mencit siap untuk disuntik

  1. Cara Pemberian Obat
  1. Intraperitoneal
  • Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest)

- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala

- disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat

- diamati efek yang terjadi

  • Pemberian Luminal Na 0,7%

- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala

- disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen perlahan-lahan

- diamati efek obat yang terjadi

  1. Peroral
  • Pemberian Luminal Na 0,7%

- dipegang tengkuk mencit

- diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esofagus

- Larutan didesak keluar dari alat suntik

5.3 . Flow Sheet

Mencit

1. Penandaan Hewan


Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa dari kandang

Ditandai ekornya dengan spidol permanent

Diangkat ke atas timbangan elektrik

Dicatat beratnya

Hasil


2. Persiapan Hewan


Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa di kandang

Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri

Ditukarkan pegangan ekor dari tangan kanan ke jari kelingkng kiri supaya mencit dapat dipegang dengan sempurna

Hasil


3. Cara Pemberian Obat

a. Per Oral

Mencit

Ditandai dan ditimbang mencit

Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde

Dipegang tengkuk mencit

Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan dorong hingga masuk ke esofagus

Didesak larutan obat keluar dari alat suntik

Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit

Dibuat grafik respon terhadap waktu

Hasil

b. Intraperitoneal

Mencit

Ditandai dan ditimbang mencit

Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit

Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala

Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat

Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit

Dibuat grafik respon terhadap waktu

Hasil

VI. PERHITUNGAN DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN

6.1. Perhitungan Dosis

Dosis mencit I

- Berat mencit 25,6gr

- Dosis : Kontrol aquadest dosis 1 % / BB (i.p)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan :

= 1 / 100 x 25,6gr = 0,256ml

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe :

Dosis mencit II

- Berat mencit : 26,1 gr

- Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (oral)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

Jumlah obat yang diberikan :

- Konsentrasi obat 0,7 %

= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

Dosis mencit III

- Berat mencit : 29,8 gr

- Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (oral)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

- Jumlah obat yang diberikan :

=

- Konsentrasi obat 0,7 %

= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

Dosis mencit IV

- Berat mencit : 25,0 gr

- Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (i.p)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

- Jumlah obat yang diberikan :

=

- Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

Dosis mencit V

- Berat mencit : 24,7 gr

- Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (i.p)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

- Jumlah obat yang diberikan :

=

- Konsentrasi obat 0,7 %

= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

6.2. Data Percobaan

No

Perlakuan

Waktu

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1.

Kontrol (aquadest) secara i.p

1.1

1.2

1.1

1.1

1.1

1.1

1.1

1.2

1.2

2.

Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara oral

1.1

1.1

1.1

1.1

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

3.

Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara i.p

1.2

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

4.

Luminal dosis 90 mg/Kg BB secara oral

1.1

1.1

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

5.

Luminal dosis 90 mg/Kg BB i.p

1.1

1.3

1.3

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

Keterangan:

1.1 Normal

1.2 Garuk-Garuk (reaktif)

1.3 Gerak lambat

1.4 Tidur

i.p = intraperitoneal

6.3. Grafik Percobaan

Terlampir

6.4. Pembahasan

Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa peningkatan dosis yaitu dari 80mg/KgBB menjadi 90mg/KgBB dengan rute pemberian yang sama yaitu Mencit II (Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara oral) dengan Mencit IV ((Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara oral) dan antara Mencit III ((Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara i.p.) dengan Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) akan memberikan efek luminal Na (tidur) lebih cepat. Sementara Mencit I I (kontrol (aquadest) secara i.p. 1% BB ) tidak menunjukkan efek mengantuk (walaupun pada menit ke-20, menit ke-80 dan menit ke-90 mencit berlaku reaktif). Hal ini mungkin hanya disebabkan oleh perilaku mencit saja.

Menurut literatur, derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian (Katzung, B. G., 1998).

Berdasarkan percobaan juga diperoleh hasil bahwa pemberian obat secara i.p. menunjukkan onset of action yang lebih cepat bila dibandingkan dengan pemberian obat secara oral. Oleh karena itu, Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) menunjukkan onset of action yang paling cepat diantara semua mencit karena pemberiannya secara i.p. dan dosisnya yang tinggi.

Menurut literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian intraperitoneal, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Namun suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar (Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995).

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

- Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan dengan urutan mencit.

- Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian abdomen mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.

- Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek.

- Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat

- Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute pemberian obat secara oral.

- Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute pemberian obat secara oral.

- Dari hasil yang diperoleh diketahui :

Mencit I (kontrol [aquadest 1%] secara i.p) pada menit ke 10 sampai 90 normal walaupun pada menit ke-20, 80 dan 90 menunjukkan gerakan reaktif

Mencit II (Luminal Na 0,7%, 80 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke 10 sampai menit ke-40 normal diteruskan dengan gerakan lambat pada menit ke-50 sampai 90.

Mencit III (Luminal Na 0,7 %, 80 mg/Kg BB secara i.p) pada menit ke-10 langsung reaktif kemudian menunjukkan gerakan lambat dari menit ke-20 sampai menit ke-90.

Mencit IV (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke-10 dan 20 menunjukkan gerakan normal lalu diikuti gerakan lambat pada menit ke-30 sampai 90 (efeknya lebih cepat dibandingkan dengan mencit II karena dosis ditingkatkan)

Mencit V (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara i.p.) pada menit ke-10 normal dan pada menit ke-20 sampai menit ke-30 gerakan lambat dan mulai tidur pada menit ke-40 sampai menit ke-90 (efeknya lebih cepat bila dibandingkan dengan mencit III karena dosis ditingkatkan).

7.2 Saran

  • Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
  • Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.
  • Dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat lainnya maupun obat golongan sedatif-hipnotik lainnya (seperti benzodiazepin) untuk mengetahui perbandingan onset of action dan duration of action.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hal. 42-43.

Anonim I, 2008.Farmakologi-1.

http://71mm0.files.wordpress.com/2008/05/farmakologi-1.doc

Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.

Reksohadiprodjo, M.S., 1994. Pusat Penelitian Obat Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3.

Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.

Sulaksono, M.E., 1987. Peranan, Pengelolaan dan Pengembangan Hewan Percobaan. Jakarta. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.html

Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/15_FaktorKeturunandanLingkungan.html

Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002.Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Kelima. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 357.

Utama, H dan Vincent H.S.Gan,1995. Antikonvulsi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 168-169.