Friday, 3 July 2009

ANTI DIABETES

I. Pendahuluan
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita DM ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi (Anonim, 2008).
Saat ini upaya penanggulangan penyakit Diabetes Mellitus belum menempati skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis, hipertensi, otak, sistem saraf, hati, mata dan ginjal (Anonim, 2008).
Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit degeratif, dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria) (Anonim, 2008).
Diabetes Mellitus atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas (Anonim, 2008).
Gejala klinis yang khas pada DM yaitu “Triaspoli” yaitu:
- polidipsi (banyak minum)
- poli phagia (banyak makan)
- poliuri (banyak kencing),
- disamping disertai dengan keluhan sering kesemutan terutama pada jari-jari tangan
- badan terasa lemas, gatal-gatal dan bila ada luka sukar sembuh.
- Kadang-kadang BB menurun secara drastis (Anonim, 2008).
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui kadar gula darah puasa pada hewan percobaan
- Untuk mengetahui kadar gula darah pada hewan percobaan setelah pemberian larutan glukosa
- Untuk mengetahui efek Glibenklamid pada kadar gula darah hewan percobaan

III. Prinsip Percobaan
Pemberian larutan glukosa akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah pada hewan percobaan. Kenaikan kadar gula darah dapat diturunkan dengan pemberian obat antidiabetes yaitu Glibenklamid. Kadar gula darah diukur dengan alat glukotest strip pada waktu tertentu.

IV. Tinjauan Pustaka
Insulin merupakan protein kecil yang mengandung dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfide. Disintesis sebagai precursor (pro-insulin) yang mengalami pemisahan proteolitik untuk membentuk insulin dan peptide-C, keduanya disekresikan oleh sel-β pancreas (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 2001).
Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga oleh hormone lain dan mediator autonomic. Sekresi insulin umumnya dipacu oleh ambilan glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi dalam sel β pancreas. Kadar adenosine trifosfat (ATP) meningkat dan menghambat saluran K+, menyebabkan membrane sel depolarisasi dan influks Ca2+, yang menyebabkan pulsasi eksositosis insulin (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 2001).
Insulin di rilis dari sel β pankreas, pada keadaan basal dengan kecepatan rendah dan pada keadaan stimulasi sebagai respons terhadap berbagai stimulus, khususnya glukosa, dengan suatu kecepatan yang lebih tinggi. Stimulan lain seperti gula lain (misalnya mannose), asam amino tertentu (misal leucine, arginine), dan juga dikenal aktivitas vagal (Katzung, B. G., 2002).
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP intraseluler, sehingga menutup kanal kalium yang tertantung pada ATP. Penurunan arus keluar dari kalium melalui kanal tersebut menyebabkan depolarisasi sel B dan terbukanya kanal kalsium yang tergantung dari voltase (voltage-gated). Hasil peningkatan kalsium intraselular memicu sekresi hormon tersebut. Mekanisme tersebut jelas lebih kompleks daripada ringkasan pendek yang diungkapkan di depan, karena beberapa pembawa pesan (messenger) intyraselular terbukti memodulasi proses tersebut (cAMP, inositol triphosphate, diacygliserol) dan respon insulin terhadap peningkatan monofasik glukosa bersifat bifasik (Katzung, B. G., 2002).
Sekali insulin memasuki sirkulasi, maka insulin diikat oleh reseptor khusus yang terdapat pada membran sebagian besar jaringan. Walaupun demikian, respon biologis yang dipicu oleh terjadinya kompleks reseptor insulin tersebut, hanya dapat diidentifikasikan pada beberapa jaringan target saja, misalnya hati, otot, dan jaringan lemak. Reseptor mengikat insulin dengan spesifitas dan afinitas yang tinggi dalam rentang pikomolar. Reseptor insulin yang penuh terdiri dari dua heterodimer, masing-masing mengandung suatu subunit alfa, yang seluruhnya ekstraseluler dan merupakan situs pengenalan, serta subunit beta yang membentang membran. Subunit beta mengandung suatu kinase tyrosine (Katzung, B. G., 2002).
Apabila insulin mengikat subunit alfa yang berada diluar permukaan sel, terjadi aktivasi kinase tyrosine pada bagian beta. Walaupun bentuk dimerik ab mampu mengikat insulin, ikatan tersebut terjadi dalam afinitas yang lebih rendah daripada ikatan yang terbentuk pada bentuk tetramerik aabb. Terjadi fosforilisasi diri sendiri dari reseptor bagian beta yang menyebabkan peningkatan agregasi heterodimer ab dan stabilisasi keadaan aktivasi reseptor kinase tyrosine. Telah diidentifikasi sembilan substrat untuk mengaktifkan reseptor insulin. Protein-protein pertama yang difosforilasi oleh reseptor kinase tyrosine termasuk protein pengait (docking), substrat reseptor insulin-1 (IRS-1), yang mempunyai lebih dari 22 situs untuk fosforilisasi tyrosine, dan substrat reseptor insulin-2 (IRS-2) (Katzung, B. G., 2002).
Setelah fosforilasi tyrosine pada beberapa situs kritis, IRS-1 dan IRS-2 terikat dan mengaktifkan kinase alin dan mengaktifkan fosforilasi selanjutnya. Jaringan kerja fosforilasi dalam sel tersebut mewakili pesan insulin yang kedua dan menyebabkan translokasi beberapa protein seperti transporter glukosa dari situs-situs yang etrpisah dalam sel-sel adiposit dan otot untuk memaparkan lokasi pada pertukaran sel. Akhirnya, kompleks reseptor insulin diinternalisasi (Katzung, B.G. ,2002).
Diabetes mellitus, penyakit kencing manis adalah suatu gangguan kronis yang dibicarakan hiperglikemia dan khususnya menyangkut metabolisne glukosa dalam tubuh. Harapan hidup penderita diabetes rata-rata 5-10 tahun lebih rendah dan resikonya akan PJP adalah 2-4 kali lebih besar. Penyebabnya adalah kekurangan hormone insulin yang berfungsi memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel untuk dimetabolisir dan demikian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Akibatnya asalah glukosa bertumpuk di dalam darah dan akhirnya diekskresi lewat kemih tanpa digunakan. Karena itu produksi kemih sangat meningkat dan penderita sering berkemih, merasa amat haus, berat badan menurun dan merasa leleh. Penyebab lainnya adalah menurunya kepekaan reseptor bagian insulin yang diakibatkan terlalu banyak makan dan kegemukan (Tan, H.T. dan Kirana Rahardja, 2007)
Rata-rata 1,5-2% dari seluruh penduduk dunia menderita diabetes yang bersifat menurun. Di Indonesia diperkirakan tiga juta orang. Pankreas adalah suatu organ lonjong yang terletak di belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Organ ini terdiri dari 98% sel-sel sekresi yang memproduksi enzim-enzim cerna yang disalurkan ke duodenum, sisanya terdiri dari kelompok sel dengan sekresi intern. Dalam pancreas terdapat 4 jenis sel endrokin, yakni:
a. Sel alpha memproduksi glikagon.
b. Sel beta menghasilkan insulin
c. Sel D memproduksi somatostatin (antagonis somatoprin)
d. Sel PP memproduksi PP (Pancreatic Polipeptida) yang mungkin berperan dalam penghambatan sekresi endokrin dalam empedu (Tan, H.T. dan Kirana Rahardja, 2007)
Apa penyebab Diabetes Mellitus ?
DM atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas. Ada 2 macam type DM :
1. DM type I. atau disebut DM yang tergantung pada insulin. DM ini disebabkan akibat kekurangan insulin dalam darah yang terjadi karena kerusakan dari sel beta pancreas. Gejala yang menonjol adalah terjadinya sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM type ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. DM type II atau disebut DM yang tak tergantung pada insulin. DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada/kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, 75% dari penderita DM type II dengan obersitas atau ada sangat kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.Kegemukan atau obesitas salah satu faktor penyebab penyakit DM, dalam pengobatan penderita DM, selain obat-obatan anti diabetes, perlu ditunjang dengan terapi diit untuk menurunkan kadar gula darah serta mencegah komplikasi-komplikasi yang lain (Anonim, 2008).
Diabetes melitus disebabkan oleh penurunan kecepatan insulin oleh sel-sel beta Pulau langerhans. Biasanya dibagi dalam dua jenis berbeda : diabetes juvenilis, yang biasanya tetappi tak selalu, dimulai mendadak pada awal kehidupan dan diabetes dengan awitan maturitas, yang dimulai di usia lanjut dan terutama pada orang kegemukan (Guyton, A.C., 1990).
Herediter berperanan penting dalam perkembangan kedua jenis diabetes ini. Pada beberapa kasus, jenis juvenilis disebabkan oleh predisposisi herediter terhadap perkembangan antibodi terhadapa sel-sel beta atau dedgenerasi sederhana pada sel-sel ini. Diabetes jenis awitan maturitas jelas disebabkan oleh degenerasi sel-sel beta sebagai akibat penuaan yang lebih cepat pada orang yang lebih rentan daripada yang lain. Obesitas mempredisposisi seseorang tetrhadapa jenis diabetes ini karena diperlukan insulin dalam jumlah lebih besar untuk pengaturan metabolisme pada orang kegemukan dibandingkan dengan orang normal (Guyton, A.C., 1990).
Patofsiologi Diabetes
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insuliun sebagai berikut:
(1) pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh , dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg. Per 100ml.
(2) peningkatan nyata mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskular yang mengakibatka aterosklerosis
(3) pengurangan protein dalam dalam jaringan tubuh (Guyton, A.C., 1990).

Uji antidiabetes dengan metode toleransi glukosa
Hewan percobaan yang telah dikelompokkan secara acak diambil cuplikan darahnya (T = 0) untuk penentuan kadar glukosa awal, kelompok uji diberi sediaan uji secara oral, kelompok kontrol diberi air suling dan kelompok pembanding diberi glibenklamid. Setelah 30 menit kemudian, semua hewan percobaan diberi larutan glukosa secara oral. Setiap 30 menit cuplikan darah diambil dari masing-masing hewan percobaan. Setelah darah dalam tabung sampel mikro disentrifuga, kadar glukosa dalam serumnya ditentukan secara uji kolorimetri dengan metode enzimatik GOD-PAP (Adnyana, K., E. Yulinah, 2004).
Uji antidiabetes pada mencit diabetes imbasan aloksan
Hewan setelah disuntik dengan aloksan secara intravena dipelihara selama satu minggu untuk melihat kembali ke keadaan glukosa serum normal. Hewan percobaan yang telah dikelompokkan secara acak cuplikan darahnya diambil (T = 0). Hewan kelompok uji diberi sediaan uji, kelompok pembanding diberi glibenklamid, sedangkan kelompok kontrol diberi air suling selama tujuh hari berturut-turut. Semua hewan diberi makan dan minum ad-libitum. Pada hari ke-1, dilakukan pengambilan serum untuk penentuan kadar glukosa serum pada pemberian tunggal. Cuplikan darah yang diambil pada hari ke-4 sebelum diberi sediaan uji digunakan untuk penentuan kadar glukosa serum pada pemberian berulang (3 hari). Pada hari ke-8, serum diambil untuk penentuan kadar glukosa serum setelah pemberian sediaan uji 7 hari berturut-turut. Kadar glukosa serum ditentukan secara uji kolorimetri dengan metode enzimatik GOD-PAP (pada panjang gelombang 546 nm) (Adnyana, K., E. Yulinah, 2004).
Pada saat ini terdapat 5 macam kelas obat hipoglikemik oral untuk pengobatan DM tipe II, yaitu sulfonilurea, biguanid, meglitinid, α-glukosidase inhibitor, dan agonis receptor γ (thiazolidin atau glitazon). Obat hipoglikemik oral diindikasikan untuk pengobatan pasien DM tipe II yang tidak mampu diobati dengan melakukan diet dan aktivitas fisik. Biguanid dan thiazolidinedion dikategorikan sebagai sensitizer insulin, dengan cara menurunkan resistensi insulin. Sulfonilurea dan meglitinid dikategorikan sebagai insulin secretagogues karena kemampuannya merangsang pelepasan insulin endogen (Yosef, 2007).
Contoh :
1. Sulfonilurea : sulfonilurea generasi pertama (acetohexamid, clorproramid, tolbutamid, talazamid) dan generasi kedua (glimepirid, gilipizie, dan glibenklamid)
2. Meglitinid : nateglinid, repaglinid
3. Biguanid : metformin
4. Thiazolidinedion : pioglitazon dan resiglitazon
5. Alfa glukosidase inhibitor : acarbose dan miglitol (Yosef, 2007).
Farmakologi Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum
Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum memobilisasi insulin dalam tubuh. Senyawa ini meningkatkan sekresi insulin sel β pulau-pulau langerhans. Sekaligus insulin yang terikat pada protein plasma yang biologic tidak aktif, dapat dibebaskan dan dengan demikian diaktifkan kembali. Karena itu semua kerja sulfonilureum pada prinsipnya adalah efek insulin, maka golongan zat ini hanya diindikasikan pada diabetes dewasa, dimana produksi insulin tubuh, setidak-tidaknya masih sebagiannya dipertahankan (Schunak. W., 1990).
Kerja samping terpenting adalah hipoglikemia, yang khusus dapat muncul setelah pemberian sulfonilureum yang bekerja kuat sehingga dapat terjadi interaksi obat melalui pendesakan sulfonilureum dari pengikatan protein plasma maupun kompetisi untuk mekanisme sekresi tubulus (Schunak. W., 1990).
Antidiabetika Oral Kombinasi Metformin dan Glibenklamid
Kombinasi ini sangat cocok digunakan untuk penderita diabetes melitus tipe 2 pada pasien yang hiperglikemianya tidak bisa dikontrol dengan single terapi (metformin atau glibenklamid saja), diet, dan olahraga. Di samping itu, kombinasi ini saling memperkuat kerja masing-masing obat, sehingga regulasi gula darah dapat terkontrol dengan lebih baik (Yosef, 2007).
Kombinasi ini memiliki efek samping yang lebih sedikit, apabila dibandingkan dengan efek samping apabila menggunakan monoterapi (metformin atau glibenklamid saja). Metformin dapat menekan potensi glibenklamid dalam menaikkan berat badan pada pasien diabetes melitus tipe 2, sehingga cocok untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengalami kelebihan berat badan (80% dari semua pasien diabetes melitus tipe 2 adalah terlalu gemuk dengan kadar gula tinggi sampai 17-22 mmol/l) (Yosef, 2007).
DM dapat dicegah dengan menerapkan hidup sehat sedini mungkin yaitu dengan mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan meningkatkan konsumsi sayuran, buah dan serat, membatasi makanan yang tinggi karbohidrat, protein dan lemak, mempertahankan BB yang normal sesuai dengan umur dan tinggi badan (TB) serta olah raga (OR) teratur sesuai umur & kemampuan (Anonim, 2008).
Tujuan pengobatan penderita DM ialah: Untuk mengurangi gejala, menurunkan BB bagi yang kegemukan & mencegah terjadinya komplikasi.
1. Diit
Penderita DM sangat dianjurkan untuk menjalankan diit sesuai yang dianjurkan, yang mendapat pengobatan anti diuretik atau insulin, harus mentaati diit terus menerus baik dalam jumlah kalori, komposisi dan waktu makan harus diatur. Ketaatan ini sangat diperlukan juga pada saat : undangan/pesta, melakukan perjalanan, olah raga (OR) dan aktivitas lain (Anonim, 2008).
2. Obat-obatan
Tablet/suntikan anti diabetes diberikan, namun therapy diit tidak boleh dilupakan dan pengobatan penyulit lain yang menyertai /suntikan insulin (Anonim, 2008).
3. Olah Raga
Dengan olahraga teratur sensitivitas sel terhadap insulin menjadi lebih baik, sehingga insulin yang ada walaupun relatif kurang, dapat dipakai dengan lebih efektif. Lakukan olahraga 1-2 jam sesudah makan terutama pagi hari selama ½ - 1 jam perhari minimal 3 kali/minggu. Penderita DM sebaiknya konsultasi gizi kepada dokter atau nutritionis (ahli gizi) setiap 6 bulan sekali untuk mengatur pola diit dan makan guna mengakomodasikan pertumbuhan dan perubahan BB sesuai pola hidup (Anonim, 2008).
PENGOBATAN DIABETES
Teori pengobatan pada diabetes melitus didasarkan atas pemberian insulin dalam jumlah cukup sehingga memungkinkan metabolisme karbohidrat penderita normal. Terapi optimmum dapat mencegah bagian terbesar efek akut diabetes dan sangat memperlambat timbulnya efek-efek kroniknya (Guyton, A. C., 1990).
Biasanya, penderita diabetes diberi dosis tunggal salah satu preparat insulin bermasa kerja lama setiap hari, ia meningkatkan seluruh metabolisme karbohidratnya sepanjang hari, kemudian insulin regular (suatu preparat bermasa kerja singkat yang berlangsung hanya beberapa jam) tambahan diberikan pada setiap saat kadar glukosa darah cenderung meningkat terlalu tinggi, seperti waktu makan. Jadi, setiap penderita diberi pengobatan rutin secara individual (Guyton, A. C., 1990).
Diet penderita diabetes. Kebutuhan insulin penderita diabetes ditentukan oleh diet standar penderita yang mengandung karbohidrat dalam jumlah normal dan terkontrol baik serta perubahan jumlah masukkan karbohidrat mengubah kebutuhan akan insulin (Guyton, A. C., 1990).
Pada orang normal, Pankreas mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan jumlah insulin yang dihasilkan terhadap masukan karbohidrat; tetapi pada orang diabetes total, fungsi pengaturan ini hilang sama sekali. Pada diabetes jenis awitan maturitas yang dengan obesitas, sering penyakit ini dapat dikontrol dengan mengurangi berat badan saja (Guyton, A. C., 1990).
Hubungan pengobatan dengan arteriosklerosis. Penderita diabetes mempunyai kecenderungan besar mengalami aterosklerosis, arteriosklerosis, serta penyakit jantung koroner berat dan beberapa lesi mikrosirkulasi. Memang, orang yang menderita diabetes yang pengendaliannya relatif buruk waktu anak-anak mungkin mati karena penyakit jantung pada usia 20-an tahun (Guyton, A. C., 1990).
Pada hari-hari permulaan pengobatan diabetes, ada kecenderungan banyak mengurangi karbohidrat dalam diet sehingga kebutuhan insulin minimum. Tindakan ini mempertahannkan kadar gula darah turun ke nilai normal dan mencegah kehilangan glukosa kedalam urina, tetapi hal ini tidak mencegah kelainan-kelainan metabolisme lemak (Guyton, A. C., 1990).
Akibatnya, saat ini cenderung membiarkan penderita dengan diet karbohidrat normal dan kemudian secara serentak memebrikan insulin dosis tingggi untuk memetabolisme karbohidrat. Hal ini menurunkan kecepatan metabolisme lemak dan juga membantu menurunkan kadar kolesterol yang tinggi yang terjadi pada diabetes sebagai akibat kelainan metabolisme lemak (Guyton, A. C., 1990).
Karena komplikasi diabetes-seperti arteroskelerosis, peningkatan kepekaan berlebihan terhadap infeksi, retinopati diabetika, katarak, hipertensi, dan penyakit ginjal kronik-lebih berkaitan dengan kadar lipid darah dibandingkan dengan kadar glukosa darah, maka ia merupakan objek pengobatan klinik diabetes untuk memberikan glukosa dan insulin dalam jumlah cukup sehingga jumlah lipid darah menjadi normal. (Guyton, A. C., 1990).

6.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan, dapat dilihat bahwa pada pemberian glukosa maka kadar gula darah (KGD) mencit mengalami peningkatan dari KGD puasa. Hal ini dikarenakan bertambahnya glukosa (gula) dalam darah karena pemberian larutan glukosa. Lalu pada menit ke 60 yaitu setelah pemberian glibenklamid (antidiabetes) maka kadar gula darah (KGD) setiap mencit mengalami penurunan karena kerja glibenklamid yang menurunkan kadar gula darah.
Penurunan KGD yang ditunjukkan oleh Mencit III (Pemberian glibenklamid [ ] 0,02% dosis 4mg/kgBB oral) cukup drastis dan membuktikan bahwa dosis yang lebih besar memberikan efek yang lebih cepat.
Namun pada menit ke-90, mencit 2 dan mencit 3 menunjukkan penurunan yang tidak rasional yaitu KGD dibawah KGD puasa disebabkan oleh jumlah darah yang diukur pada alat glukotest tidak mencukupi (kurang) sehingga terjadi kesalahan dalam pengukuran. Jumlah darah mencit pun sudah mengalami pembekuan sehingga menyulitkan dalam proses pengukuran KGD.
Glibenklamid bekerja menurunkan KGD dengan cara: Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum memobilisasi insulin dalam tubuh. Senyawa ini meningkatkan sekresi insulin sel β pulau-pulau langerhans. Sekaligus insulin yang terikat pada protein plasma yang biologic tidak aktif, dapat dibebaskan dan dengan demikian diaktifkan kembali. Karena itu semua kerja sulfonilureum pada prinsipnya adalah efek insulin, maka golongan zat ini hanya diindikasikan pada diabetes dewasa, dimana produksi insulin tubuh, setidak-tidaknya masih sebagiannya dipertahankan (Schunak. W., 1990).

VII. Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
- Kadar Gula Darah (KGD) puasa hewan percobaan (mencit) adalah antara 122-129mg/dl.
- Setelah pemberian larutan glukosa maka KGD hewan percobaan jauh meningkat yaitu sekitar 253-319mg/dl.
- Pemberian Glibenklamid pada hewan percobaan dapat menurunkan kadar gula darah (KGD)

7.2. Saran
- Sebaiknya dilakukan juga pengujian diabetes dengan metode lain seperti aloksan.
- Sebaiknya dibandingkan efek penurunan kadar gula darah oleh obat dari golongan lain seperti antara golongan biguanida dengan sulfonilurea.
- Sebaiknya dilakukan pemberian kombinasi antidiabetes sepertia antara metformin dengan glibenclamid untuk mengetahui efek penurunannya terhadap kadar gula darah.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, K., E. Yulinah. (2004). Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.). www.acta.fa.itb.ac.id.
Anonim. (2008). Peran DIIT Dalam Penanggulangan Diabetes. www.gizi.net.
Guyton, A. C. (1990). Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit. Edisi Ketiga. Jakarta: EGC. Hal. 707-708.
Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dan Klinik. Edisi Kedua. Surabaya: Universitas Airlangga Press. Hal. 125-126.
Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Widya Medika. Hal. 261-262.
Schunak. W. (1990). Senyawa Obat. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 558.
Tan, H.T. dan K. Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 742.
Yosef. (2007). Terapi Kombinas Antidiabetika Oral Metformin Dan Glibenklamid Untuk Diabetes Melitus Tipe-2. www.yosefw.wordpress.com.