Thursday, 25 June 2009

CARA PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN RUTE PEMBERIAN OBAT

I. PENDAHULUAN

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan keselamatan manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki,yang dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke 16 di Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964 (Sulaksono, M.E., 1987).

Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentang segi etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian. Disebutkan, perlunya dilakukan percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia

(Sulaksono, M.E., 1987).

Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Sulaksono, M.E., 1987).

Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk menentukan toksisitasnya. Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu (Anonim I., 2008).

Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih cepat dan bermanfaat. Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya harus ditentukan untuk mencapai efek yang maksimal (Anonim I., 2008).

II. TUJUAN PERCOBAAN

- Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan percobaan.

- Untuk mengetahui berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan.

- Untuk mengetahui teknik pemberian obat melalui rute intraperitoneal (i.p.) dan secara oral.

- Untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.

- Untuk menyatakan onset of action obat berdasarkan rute yang diberikan.

- Untuk menyatakan duration of action obat berdasarkan rute yang diberikan.

- Untuk mengetahui efek dari pemberian Luminal Natrium berdasarkan dosis dan rute pemberian terhadap hewan percobaan.

III. PRINSIP PERCOBAAN

- Penandaan hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan menggunakan spidol permanen dengan bentuk-bentuk tertentu.

- Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal), sehingga dapat diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat.

- Dengan membandingkan peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.

IV. TINJAUAN PUSTAKA

Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu

1). Hewan liar.

2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.

3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim barrier (tertutup).

4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E., 1987).

Jenis-jenis Hewan percobaan:

No

Jenis hewan percobaan

Spesies

1.

Mencit (Laboratory mince)

Mus musculus

2.

Tikus (Laboratory Rat)

Rattus norvegicus

3.

Golden (Syrian) Haruster

Mescoricetus auratus

4.

Chinese Haruster

Cricetulus griseus

5.

Marmut

Cavia porcellus (Cavia cobaya)

6.

Kelinci

Oryctolagus cuniculus

7.

Mongolian gerbil

Meriones unguiculatus

8.

Forret

Mustela putorius furo

9.

Tikus kapas (cotton rat)

Sigmodon hispidus

10.

Anjing

Canis familiaris

11.

Kucing

Fells catus

12.

Kera ekor panjang (Cynomolgus)

Macaca fascicularis (Macaca irus)

13.

Barak

Macaca nemestrina

14.

Lutung/monyet daun

Presbytis ctistata

15.

Kera rhesus

Macaca mulata

16.

Chimpanzee

Pan troglodytes

17.

Kera Sulawesi

Macaca nigra

18.

Babi

Sus scrofa domestica

19.

Ayam

Gallus domesticus

20.

Burung dara

Columba livia domestica

21.

Katak

Rana sp.

22.

Salamander

Hynobius sp.

No

Jenis hewan percobaan

Spesies

23

Lain-lain

Cara memegang hewan (handling) dan penentuan jenis kelamin

Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya

(Sulaksono, M.E., 1992).

Identiftikasi (Pemberian tanda pada hewan).

Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah disamping untuk mencegah kekeliruan hewan dalam sistim pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam percobaan. Bermacam-macam cara yang dipakai dalam identifikasi tergantung kepada selera dan juga lama tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara. (marking, ear punching, too clipping, ear tags, tattocing, coat colors) (Sulaksono, M. E., 1992).

Obat dalam tubuh akan mengalami beberapa fase yaitu:

- Fase farmasetik

- Fase farmakokinetik

- Fase farmakodinamik

Fase-fase estafet utama dalam aksi obat dalam tubuh dapat dilihat:

Dosis

Disintegrasi bentuk dosis

Disolusi Substansi Aktif


I. Fase Farmasetik


Optimasi ketersediaan

farmasetik

Absorpsi

Distribusi

Biotransformasi

Ekskresi


II. Fase Farmakokinetik

Optimasi ketersediaan

biologik

Interaksi obat reseptor dalam jaringan target


III. Fase Farmakodinamik

Optimasi efek biologik

yang dikehendaki

Efek

(Reksohadiprodjo, M.S., 1994)

Rute Penggunaan Obat

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a. tujuan terapi mengkehendaki efek lokal atau efek sistemik

b. apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama

c. stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus

d. keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute

e. rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter

f. kemampuan pasien menelan obat melelui oral (Anief, M., 1994).

Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan efek terapi/obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedangkan efek lokal adalah efek obat yang hanya berkerja setempat misalnya salep

(Anief, M., 1994).

Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:

  1. oral melalui saluran gastrointestinal atau rektal
  2. parenteral dengan cara intravena, intramuskular dan subkutan
  3. inhalasi langsung ke dalam paru-paru

Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:

  1. intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan pada mata, hidung, telinga
  2. intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
  3. rektal, uretral, dan vaginal dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat melelh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan.

Rute penggunaan obat dapat dengan cara:

  1. melalui rute oral
  2. melalui rute parenteral
  3. melalui rute inhalasi
  4. melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
  5. melalui rute kulit (Anief, M., 1994).

Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut:

No.

Istilah

Letak masuk dan jalan absorpsi obat

1.

Per oral (per os)

Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung), penyerapan obat melalui membran mukosa pada lambung dan usus memberi efek sistemik

2.

Sublingual

Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat mellaui membran mukosa, memberi efek sistemik

3

Parenteral atau injeksi

a. intravena

b. intrakardial

c. intrakutan

d. subkutan

e. intramuskular

melalui selain jalan lambung dengan merobek beberap jaringan

Masuk pembuluh darah balik (vena), memberi efek sistemik

Menembus jantung, memberi efek sistemik

Menembus kulit, memberi efek sistemik

Di bawah kulit, memberi efek sistemik

Menembus otot daging, memberi efek sistemik

4

Intranasal

Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal

5

Aural

Diteteskan pada lubang telinga, memberi efek lokal

No.

Istilah

Letak masuk dan jalan absorpsi obat

6

Intrarespiratoral

Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, memberi efek lokal

7

Rektal

Dimasukkan ke dalam dubur, memberi efek lokal + sistemik

8

Vaginal

Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita, memberi efek lokal

9

Uretral

Dimasukkan ke dalam saluran kencing, memberi efek lokal

(Anief, M., 1994).

SEDATIVA DAN HIPNOTIKA

Hipnotika atau obat tidur (Yun: hypnos= tidur) adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Lazimnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bilamana zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedativa (obat-obat pereda). Oleh karena itu, tidak ada perbedaan yang tajam antara kelompok obat sedativa maupun kelompok obat hipnotika (Tjay, T.H., 2002).

Hipnotika/ sedativa, seperti juga antipsikotropika (neuroleptika), termasuk ke dalam kelompok psikoleptika yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat fungsi-fungsi SSP tertentu (Tjay, T.H., 2002).

Sedativa berfungsi untuk menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat utamanya tidak menekan SSP, misalnya seperti antikolinergika (Tjay, T.H., 2002).

Hipnotika menimbulkan rasa kantuk (drowsiness), mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah mengenai sifat-sifat EEG-nya. Selain sifat-sifat ini, secara ideal obat tidur tidak menimbulkan aktivitas sisa pada keesokan harinya (Tjay, T.H., 2002).

GOLONGAN BARBITURAT

Di samping sebagai sedatif dan hipnotik, golongan barbiturat dapat pula dimanfaatkan sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan adalah barbiturat kerja lama. (long-acting barbiturates). Di sini dibicarakan khasiat antiepilepsi prototipe barbiturat, fenobarbital, mefobarbital, dan metarbital; serta primidon yang mirip dengan barbiturat (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi. Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi pembentukan fosfatase berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis neurotransmiter misalnya Ch, dan untuk repolarisasi membran sel neuron setelah depolarisasi

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

FENOBARBITAL

Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya, membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi dengan potensi terkuat, tersering di­gunakan, dan termurah. Dosis efektif relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap efek samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-tamin atau stimulan sentral lainnya tanpa menghi-langkan khasiat antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil; kadang-kadang hanya timbul ruam skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang berat pada penggunaan sebagai antiepilepsi belum pernah dilaporkan. Fenobarbital adalah obat terpilih untuk memulai terapi epilepsi grand mal. Karena efek toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya dengan fenitoin, penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai serangan kortikal lainnya; juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya terbatas, karena sifat antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, feno­barbital sering cocok untuk terapi awal serangan absence, spasme mioklonik, dan epilepsi akinetik; apalagi mengingat kemungkinan komplikasi serang­an tonik-klonik umum (grand mal) pada ketiga je-nis epilepsi tersebut. Terhadap epilepsi psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams berhati-hati, oleh karena ada kemungkinan terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama hams di-ingat oleh mereka yang menggunakan fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiap kelainan dengan konvulsi (umpamanya pada bidang kesehatan anak) (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Untuk mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma optimal, berkisar antara 10 sampai 30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pem­berian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi serangan kembali, atau malahan serangan status epileptikus

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

MEFOBARBITAL

Mefobarbital (asam 3-metil-5.5-feniletil barbi­turat), efek sedatifnya lebih lemah daripada feno- barbital; demikian pula khasiat antikonvulsinya. Tetapi mefobarbital tetap efektif terhadap grand mal. Sifat-sifatnya dan efektivitasnya sama de­ngan fenobarbital karena terjadi N-demetilasi di hati. Khasiat mefobarbital terhadap petit mal jelas me-lebihi fenobarbital, akan tetapi kurang bila diban-dingkan dengan obat yang selektif terhadap petit mal. Dosis yang biasa diberikan pada orang dewasa adalah 400-600 mg sehari dalam dosis terbagi

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

METARBITAL

Metarbital diperoleh dengan metilasi-N3 pada barbital dan menjadi asam 3-metil-5,5-dietilbar-biturat. Senyawa ini merupakan jenis barbiturat dengan masa kerjanya paling lama. Metarbital tidak memiliki gugus fenil (yang memberikan si-fat antikonvulsi); tetapi dalam kombinasi ataupun sebagai obat tunggal berguna terhadap grand mal yang sudah refrakter terhadap pengobatan lazim; juga terhadap epilepsi mioklonik dan petit mal. Khusus terhadap spasme mioklonik pada anak kecil (infant) metarbital paling baik khasiatnyajdan pada kelainan dengan konvulsi akibat kerusakan pada otak, metarbital juga sangat berguna

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Efek samping berupa kantuk, pusing, gelisah, gangguan lambung, dan ruam kulit. Dosis awal dewasa adalah 100-300 mg sehari diberikan terbagi 2-3 kali sehari dan dapat dinaik-kan menjadi 800 mg sehari. Untuk anak 5-15 mg/ kg berat badan sehari, diberikan terbagi. (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995)

Obat hipnotik dapat menimbulkan rasa mengantuk dan memperlama keadaaan tidur. Efek hipnotik lebih bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat daripada sedasi dan obat ini dapat diperoleh secara mudah pada kebanyakan obat-obat sedatif dengan jalan meningkatkan dosis

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Walaupun begitu, pada masing-masing obat, terdapat perbedaan dalam hubungan antara dosis dan tingkat depresi susunan saraf pusat. Dua contoh dari hubungan dosis-respon diperlihatkan pada Gambar 21-1. Slope yang linier dari obat A adalah khas dari kebanyakan obat sedativa-hipnotika yang lebih tua, termasuk barbiturat dan alkohol. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian. Deviasi dari hubungan linier dosis-respon seperti terlihat pada obat B, akan memerlukan proporsi yang lebih besar dalam peningkatan dosis untuk mendapatkan depresi susunan saraf pusat yang lebih dalam daripada hipnosis. Hal ini menunjukkan/ ditunjukkan oleh kebanyakan obat dari golongan benzodiazepin, dan batas keamanaan yang lebih besar merupakan penawaran yang penting dalam penggunaan klinik yang luas untuk mengobati keadaan ansietas dan gangguan tidur.

Koma Obat A

E

F Anestesi Obat B

E

K

Hipnosis

S

S

P Sedasi

Kenaikan Dosis

(Katzung, B.G., 1998)

VI. METODE PERCOBAAN

5.1. Alat dan Bahan

5.1.1. Alat

- oral sonde mencit

- spidol permanent

- spuit 1 ml

- beaker glass 25 ml

- erlenmeyer 10 ml

- labu tentukur 100ml

- jam tangan

- timbangan elektrik

5.1.2. Bahan

- mencit 5 ekor

- akuadest

- luminal Na konsentrasi 0,7%

5.2. Prosedur Percobaan

  1. Penandaan Hewan

- dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa kandang

- ditandai ekor mencit dengan spidol permanent

- diletakkan di atas timbangan elektrik, kemudian catat beratnya

  1. Persiapan Hewan

- dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa kandang

- dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri

- ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna

- mencit siap untuk disuntik

  1. Cara Pemberian Obat
  1. Intraperitoneal
  • Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest)

- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala

- disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat

- diamati efek yang terjadi

  • Pemberian Luminal Na 0,7%

- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala

- disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen perlahan-lahan

- diamati efek obat yang terjadi

  1. Peroral
  • Pemberian Luminal Na 0,7%

- dipegang tengkuk mencit

- diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esofagus

- Larutan didesak keluar dari alat suntik

5.3 . Flow Sheet

Mencit

1. Penandaan Hewan


Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa dari kandang

Ditandai ekornya dengan spidol permanent

Diangkat ke atas timbangan elektrik

Dicatat beratnya

Hasil


2. Persiapan Hewan


Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa di kandang

Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri

Ditukarkan pegangan ekor dari tangan kanan ke jari kelingkng kiri supaya mencit dapat dipegang dengan sempurna

Hasil


3. Cara Pemberian Obat

a. Per Oral

Mencit

Ditandai dan ditimbang mencit

Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde

Dipegang tengkuk mencit

Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan dorong hingga masuk ke esofagus

Didesak larutan obat keluar dari alat suntik

Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit

Dibuat grafik respon terhadap waktu

Hasil

b. Intraperitoneal

Mencit

Ditandai dan ditimbang mencit

Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit

Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala

Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat

Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit

Dibuat grafik respon terhadap waktu

Hasil

VI. PERHITUNGAN DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN

6.1. Perhitungan Dosis

Dosis mencit I

- Berat mencit 25,6gr

- Dosis : Kontrol aquadest dosis 1 % / BB (i.p)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan :

= 1 / 100 x 25,6gr = 0,256ml

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe :

Dosis mencit II

- Berat mencit : 26,1 gr

- Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (oral)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

Jumlah obat yang diberikan :

- Konsentrasi obat 0,7 %

= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

Dosis mencit III

- Berat mencit : 29,8 gr

- Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (oral)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

- Jumlah obat yang diberikan :

=

- Konsentrasi obat 0,7 %

= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

Dosis mencit IV

- Berat mencit : 25,0 gr

- Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (i.p)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

- Jumlah obat yang diberikan :

=

- Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

Dosis mencit V

- Berat mencit : 24,7 gr

- Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (i.p)

- Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)

- Jumlah obat yang diberikan :

=

- Konsentrasi obat 0,7 %

= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat yang disuntikkan

- Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

6.2. Data Percobaan

No

Perlakuan

Waktu

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1.

Kontrol (aquadest) secara i.p

1.1

1.2

1.1

1.1

1.1

1.1

1.1

1.2

1.2

2.

Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara oral

1.1

1.1

1.1

1.1

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

3.

Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara i.p

1.2

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

4.

Luminal dosis 90 mg/Kg BB secara oral

1.1

1.1

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

1.3

5.

Luminal dosis 90 mg/Kg BB i.p

1.1

1.3

1.3

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

Keterangan:

1.1 Normal

1.2 Garuk-Garuk (reaktif)

1.3 Gerak lambat

1.4 Tidur

i.p = intraperitoneal

6.3. Grafik Percobaan

Terlampir

6.4. Pembahasan

Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa peningkatan dosis yaitu dari 80mg/KgBB menjadi 90mg/KgBB dengan rute pemberian yang sama yaitu Mencit II (Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara oral) dengan Mencit IV ((Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara oral) dan antara Mencit III ((Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara i.p.) dengan Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) akan memberikan efek luminal Na (tidur) lebih cepat. Sementara Mencit I I (kontrol (aquadest) secara i.p. 1% BB ) tidak menunjukkan efek mengantuk (walaupun pada menit ke-20, menit ke-80 dan menit ke-90 mencit berlaku reaktif). Hal ini mungkin hanya disebabkan oleh perilaku mencit saja.

Menurut literatur, derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian (Katzung, B. G., 1998).

Berdasarkan percobaan juga diperoleh hasil bahwa pemberian obat secara i.p. menunjukkan onset of action yang lebih cepat bila dibandingkan dengan pemberian obat secara oral. Oleh karena itu, Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) menunjukkan onset of action yang paling cepat diantara semua mencit karena pemberiannya secara i.p. dan dosisnya yang tinggi.

Menurut literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian intraperitoneal, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Namun suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar (Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995).

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

- Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan dengan urutan mencit.

- Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian abdomen mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.

- Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek.

- Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat

- Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute pemberian obat secara oral.

- Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute pemberian obat secara oral.

- Dari hasil yang diperoleh diketahui :

Mencit I (kontrol [aquadest 1%] secara i.p) pada menit ke 10 sampai 90 normal walaupun pada menit ke-20, 80 dan 90 menunjukkan gerakan reaktif

Mencit II (Luminal Na 0,7%, 80 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke 10 sampai menit ke-40 normal diteruskan dengan gerakan lambat pada menit ke-50 sampai 90.

Mencit III (Luminal Na 0,7 %, 80 mg/Kg BB secara i.p) pada menit ke-10 langsung reaktif kemudian menunjukkan gerakan lambat dari menit ke-20 sampai menit ke-90.

Mencit IV (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke-10 dan 20 menunjukkan gerakan normal lalu diikuti gerakan lambat pada menit ke-30 sampai 90 (efeknya lebih cepat dibandingkan dengan mencit II karena dosis ditingkatkan)

Mencit V (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara i.p.) pada menit ke-10 normal dan pada menit ke-20 sampai menit ke-30 gerakan lambat dan mulai tidur pada menit ke-40 sampai menit ke-90 (efeknya lebih cepat bila dibandingkan dengan mencit III karena dosis ditingkatkan).

7.2 Saran

  • Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
  • Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.
  • Dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat lainnya maupun obat golongan sedatif-hipnotik lainnya (seperti benzodiazepin) untuk mengetahui perbandingan onset of action dan duration of action.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hal. 42-43.

Anonim I, 2008.Farmakologi-1.

http://71mm0.files.wordpress.com/2008/05/farmakologi-1.doc

Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.

Reksohadiprodjo, M.S., 1994. Pusat Penelitian Obat Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3.

Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.

Sulaksono, M.E., 1987. Peranan, Pengelolaan dan Pengembangan Hewan Percobaan. Jakarta. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.html

Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/15_FaktorKeturunandanLingkungan.html

Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002.Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Kelima. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 357.

Utama, H dan Vincent H.S.Gan,1995. Antikonvulsi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 168-169.

No comments:

Post a Comment